Ilmu kesempurnaan berumah tangga

Cerpen panjang Sri Sumarah karya Pak Umar Kayam tak henti-hentinya dibicarakan orang hingga sekarang dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Cerpen tersebut memang nyiamik tenan. Saking panjangnya cerpen ini, saya akan kutipkan bagian yang paling saya suka, yakni wejangan dan petuah embahnya Sri Sumarah setelah Mas Sumarto datang mengunjungi rumah Sri Sumarah untuk nontoni, mengendarai sepeda merk Simplex yang sudah tua, tetapi memakai berko, perseneling, tergosok rapi mengilau.

~oOo~

Dan begitu Mas Marto – begitulah dirinya kemudian memanggilnya – membuka suara memperkenalkan dirinya, Sri tahu dia sudah jatuh hati dalam sekali.

Embahnya, dalam bulan-bulan berikutnya mempersiapkan cucunya dengan sebaik-baiknya. Persiapan bagi seorang gadis untuk menjadi seorang istri yang sempurna. Modelnya, Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri Arjuna, laki-laki dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati. Patuh, sabar, mengerti akan kelemahan suami, mengagumi akan kekuatannya.

“Bukannya kebetulan nDuk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu, kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak berarti lantas kau diaaaam saja, nDuk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti, nDuk?”

Sebagai layaknya seorang perempuan anak priyayi, Sri diam saja. Sebab pertanyaan “mengerti” tidak untuk dijawab mengerti karena “mengerti” adalah mencari untuk mengerti. Ini Sri baru tahu akan maknanya sesudah dia sempat digauli suaminya selama dua belas tahun. Selama itu Sri tunduk, diam terhadap pertanyaan “mengerti?” karena kebiasaan, konvensi, memberitahukannya demikian.

Selanjutnya nenek Sri mengatakan bahwa untuk mencegah agar suami tidak lemah dan tidak berkembang kelemahannya, seorang istri mestilah sanggup memencilkan dan mengecilkannya lewat berbagai jalan. Rumah itu mestilah tenteram sehingga suami itu merasa krasan dekat istrinya.

“Nah, itu bisa dicapai lewat dapur, tempat tidur, sikap dan omonganmu sehari-hari, nDuk.”

Lewat dapur sudah tentu lewat masakan yang enak. Enak artinya yang cocok bagi lidah suami. Lewat tempat tidur artinya ya, itu…

“Yang sabar ya,  nDuk. Yang sabar. Di sini sumarah-mu itu benar-benar dicoba. Meskipun laki-laki itu macam-macam, di tempat tidur mereka adalah anak-anak yang manja. Karena itu waspadalah. Anak yang manja bisa meronta-ronta bila tidak kesampaian maksudnya.”

Maka semacam indoktrinasi bahkan kemudian semacam manual of operation juga disiapkan oleh embah yang bijaksana itu, untuk memperlengkap kesiapan cucunya menghadapi saat-saat yang gawat itu. Demikianlah Sri diwajibkan minum jamu galian secara teratur, agar badannya tetap singset dan sintal. “(Ingat, nDuk, laki-laki tidak senang melihat badan istrinya gombyor-gombyor.”)

Sri diwajibkan dalam waktu-waktu tertentu makan kencur dan kunyit merah, agar keringat dan badannya tidak bau. (“Ingat nDuk, kalau kau tidak waspada jaga bau keringatmu, seluruh bagian badanmu akan bau anyir dan amis, terutama di bagian bawahmu itu. Kalau sudah begitu, bagaimana suami akan mendekatimu?”)

Kemudian di tempat tidur, sama dengan pada seluruh rumah, harus selalu mengusahakan agar suami senang, tenteram, dan krasan. Kalau suami senang, tenteram, dan krasan di ranjang, sorga apakah yang lebih nikmat daripada suasana yang begitu? Dengan sendirinya, begitulah menurut embah Sri, suami akan meraih tubuh istrinya. (“Kalau sudah begitu, nDuk, teruslah sumarah kepadanya. Turutilah maunya. Mulai atur napasmu. Sabar, alon, alon, alon, alon…”). Tetapi untuk menghantar suami ke arah roso tenteram, senang, dan krasan di ranjang itu ada caranya sendiri. Menurut ajaran embah Sri, tiap kali seorang suami meletakkan badannya di tempat tidur, pikirannya akan terbang melayang. Oh, pikiran itu macam-macam hal. Biasanya tentang apa yang habis dikerjakannya pada hari itu. Kalau sudah begitu, laki-laki itu merasa capek sekali, baik badannya maupun pikirannya. (“Nah, waktu begitu, nDuk, jangan kau ajak bicara apa-apa, tapi mulailah pijit dia. Lho, iya, nDuk! Pijit! Cuma jangan keras-keras caramu memegang bagian badannya. Bahkan pijit kapan saja, sesungguhnya tidak boleh keras-keras. Justru harus alon-alon…”). Menurut manual embah Sri itu, otot-otot yang keras kejang itu hanya bisa dikalahkan oleh elusan tangan yang alon dan yang merayap berkali-kali. Dan karena kecapekan itu tidak hanya disebabkan oleh pekerjaan badaniah maka pijit tanpa tembang lirih-lirih atau omongan pelan-pelan yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan laki-laki, tidak akan terasa khasiatnya.

Begitulah Sri mendapatkan ilmunya yang baru. Ilmu kesempurnaan berumah tangga. Menurut embah Sri, ajaran itu semua bukanlah apa-apa, kecuali untuk “memegang” laki-laki. “Kalau kita turuti mereka, laki-laki akan lebih lagi menuruti kita, nDuk.”

Dan Sri Sumarah yang dengan tekun dan patuh mengikuti persiapan embahnya, pada hari perkawinannya telah menguasai semua perlengkapan itu. Sri Sumarah sudah mumpuni, kata orang Jawa.

~oOo~

Cerita pendek Umar Kayam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, yang memenangkan penghargaan cerpen terbaik majalah Horison tahun 1968, baru diterbitkan dalam satu kumpulan cerita pendek dengan judul yang sama pada tahun 1972. Kemudian, dua buah noveletnya atau cerita pendeknya yang panjang, “Bawuk” dan “Sri Sumarah”, yang dirangkum dalam satu buku dengan judul Sri Sumarah dan diterbitkan pada tahun 1975. Sebelas tahun kemudian, tahun 1986, kedua kumpulan cerita pendek/noveletnya ini diterbitkan dalam satu buku berjudul Sri Sumarah.

Pada tahun 2003, untuk memperingati setahun wafatnya Umar Kayam, penerbit Pustaka Utama Grafiti menerbitkan kembali kumpulan cerita pendek Umar Kayam dengan judul Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Kumpulan Cerita Pendek Umar Kayam. Sebagian kisah Sri Sumarah di atas saya kutip dari buku yang sama namun dalam cetakan VII, September 2009 halaman 187 – 189.