Hotel Pro Deo

Akhirnya sampai juga saya membaca Epilog novel Remy Sylado yang berjudul Hotel Pro Deo. Maklum, novel yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Garmedia pada Juli 2010 ini tebalnya 1016, hampir sama tebalnya dengan novel Remy Sylado Sam Po Kong. Oke, saya kutipkan beberapa paragraf  dari Epilog tersebut.

Yang penting tokoh jahat sudah mati.

Tapi, jangan salah, matinya tokoh jahat terjadi melalui kejahatan pula oleh tokoh jahat yang lain.

Jadi, apa artinya itu?

Itu artinya, kejahatan memang selalu menular. Maka, kesimpulannya, Dharsana hanya sekedar mati dalam arti tidak lagi makan dan tidak lagi berak. Tapi pikiran tentang kejahatan berlanjut menjangkiti orang lain yang dengan sadar memelihara dendam di hati untuk melakukan kejahatan balasan.

Walau Dharsana sudah mati – mati dalam ukuran faal nafasnya, sebagai sesuatu yang berhembus di hidung sebagai wilayah kerahmanan dan kerahiman ilahi, telah lenyap dari tubuh insani – namun percayalah itu tidak berarti kejahatan sudah tamat. Orang yang membunuhnya, pelaku dan pesuruh, beranggapan begitu.

Adanya sosok-sosok baik dan sosok jahat justru menjamin arti asasi kehidupan manusia di kulit bumi ini. Hebatnya, selalu terjadi, bahwa dalam rangka menumpas kejahatan untuk menenangkan kebaikan, tidak sepi tindakan terhadap kejahatan yang mengatasnamakan kebaikan itu, malah melaksanakannya dengan model kejahatan yang lebih berat.

~oOo~

Novel ini menceritakan keadaan Jakarta menjelang akhir era Orde Baru. Kehidupan rumah tangga Komisaris Besar DB Dharsana dan Ibu Intan tak setenang di permukaan. Kebencian sang Kombes terhadap Marc, anak tirinya, tak lagi mudah diredam. Lebih gawat lagi, Marc memergoki Dharsana berselingkuh dengan Jeng Retno, istri seorang terpidana korupsi. Demi membungkam Marc, Dharsana merekayasa kecelakaan di atas jembatan layang Senen. Ia juga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun yang dia mau: mengatur rekayasa pengadilan, melakukan penipuan dalam bisnis tanah, menganiaya Jeng Retno, bahkan mendalangi pembantaian satu keluarga Cina dalam kerusuhan 1998. Setelah Orde Baru runtuh, Dharsana kalang kabut mempertahankan posisinya sebagai aparat negara.