Hikayat Jamban

Serial Cerita Pemilik Bulan Juli #3

Pada tahun 70-an, saya dan kebanyakan tetangga kalau ingin buang hajat akan pergi ke sungai, bisa sungai alam atau saluran irigasi. Masing-masing orang sudah punya teritori yang dianggap pewe untuk kegiatan selama buang hajat.

Pada suatu hari, kampung saya kedatangan keluarga kaya dan modern gaya hidupnya. Mereka mengontrak rumah salah satu nenek saya, yang lokasinya bersebelahan dengan rumah yang kami tinggali (juga rumah nenek). Baru sehari tinggal di sana, ada tukang yang membikin bangunan jamban di atas sungai yang biasa menjadi tempat kami buang hajat. Bangunan jamban tersebut dari kayu tanpa atap tetapi dilengkapi dengan pintu yang bisa digembok. Cara buang hajat di dalam bangunan tersebut sama dengan cara kami membuang hajat di sungai, tanpa resapan tanpa bak penampung, bedanya hanya dilakukan di tempat yang tertutup.

Setiap pagi saya sering menyaksikan Pak Tuan – tetangga saya yang kaya – berpiyama sambil menenteng koran langganan, kemudian masuk ke bangunan jamban miliknya. Tak lama kemudian saya akan melihat asap rokok mengepul dari bangunan jamban tersebut. Setelah selesai buang hajat, ia akan menggembok pintu bangunan jamban. Semua keluarga Pak Tuan menggunakan jamban tersebut, kecuali mBak Iyah – ART mereka, ia buang hajat seperti kami kebanyakan. Namun, pengisian air untuk cebok di bangunan jamban akan menjadi tugas mBak Iyah.

***

Saya ingin sekali menikmati sensasi buang hajat di jamban milik Pak Tuan. Tetapi saya tak berani minta izin kepadanya, bahkan bilang kepada anak tertuanya yang sebaya dengan adik saya, saya tak berani. Mereka sebetulnya keluarga yang sangat ramah kepada para tetangga. Kami saban malam nonton tivi di rumah mereka dan tak jarang berbagi aneka camilan saat kami menyaksikan acara Dunia Dalam Berita. O iya, waktu itu listrik belum masuk kampung kami, sehingga kalau aki tivi lagi soak kami tak bisa menyaksikan acara tivi.

Iseng-iseng saya menengok ke dalam jamban Pak Tuan dengan memanjat dinding kayunya. Saat itu jamban sedang kosong, tentu saja. Saya yang masih kelas 4 atau 5 SD, penasaran dengan daleman jamban modern tersebut.

Setelah itu saya bilang ke Bapak saya, mbok bikin jamban seperti milik Pak Tuan. Bapak cuma bilang kalau suatu saat akan bikin jamban yang lebih baik dari punya Pak Tuan.

Saya lulus SD, keluarga Pak Tuan pindah rumah. Ia masih tinggal di kampung kami juga, dan rumah yang dibangunnya paling bagus seluruh kampung. Ketika berpamitan, Pak Tuan mewariskan jambannya kepada keluarga kami. Horee…!!!

Kali ini Bapak saya tidak menggembok pintu jamban. Siapa pun diperbolehkan menggunakan jamban tersebut.

***

Baru ketika saya klas 2 SMA, Bapak memenuhi janjinya. Ia membikin jamban lebih modern daripada jamban milik Pak Tuan yang dibangun tak jauh dari jamban Pak Tuan, ada di sebelah baratnya. Jamban tersebut berupa bangunan tembok full dengan atap, sedangkan closet-nya dengan cetakan saluran leher angsa. Saluran pembuang levelnya di bawah air sungai, tetapi saat sungai kering ujung saluran kelihatan di permukaan.

Apakah Bapak membolehkan semua orang menggunakan jamban tersebut? Tidak juga, sebab ia akan menggembok pintu jamban saat malam hari. Satu-dua tetangga ada yang berani bilang kepada Bapak untuk minta izin menggunakan jamban, dan Bapak mengizinkan.

Nanti ketika keluarga kami sudah pindah rumah dan rumah ini milik sendiri, Bapak membangun jamban di dalam satu bangunan rumah. Uniknya, ia membangun jamban terpisah dari kamar mandi, masing-masing dengan pintu tersendiri. Letaknya bersebelahan sih. Beberapa kali kamar mandi dan jamban direhab, posisinya tetap seperti itu, bahkan sampai sekarang.