Hidup Hanya Sekedar untuk Tertawa

Judul : Urip Mung Mampir Ngguyu – Telaah Sosiologis Folklor Jogya • Penulis : DR. Sidik Jatmika, MSi • Penerbit : Kanisius Yogyakarta, 2009 • Tebal : 231 halaman

Ketika membaca buku ini dari halaman awal sampai akhir, saya jamin Anda akan tertawa, atau paling tidak tersenyum tiada henti. Kenapa begitu? Judul Urip Mung Mampir Ngguyu (hidup hanya sekedar singgah untuk tertawa) ini sebenarnya plesetan dari ungkapan Jawa Urip Mung Mampir Ngombe (hidup hanya sekedar singgah untuk minum), di mana di dalamnya kita akan disuguhi berbagai macam kelucuan yang terjadi di masyarakat Yogyakarta.

Saya beruntung pernah hidup selama 6 (enam) tahun di Jogja, sehingga membaca buku ini seakan bernostalgia akan kelucuan-kelucuan yang terjadi di sekitar kehidupan Jogja. Meskipun penuh dengan kelucuan, buku ini digarap dengan sangat serius. Buku ini memusatkan kajiannya terhadap berbagai folklore yang berkembang di kalangan masyarakat Jogja (nah, untuk menuliskan Yogyakarta saja ada berbagai macam varian, seperti Jogja, Djokja, Yog-yess, Jog-Jazz, Jogjanesia, Jogjreng-Karta atau New York Art O). Di bekas hamparan Alas Mentaok (kawasan bumi Mataram di lereng selatan Gunung Merapi) ini muncul beribu kelucuan bahasa maupun kisah yang berkembang secara turun temurun, secara lisan dari generasi ke generasi. Para sarjana menyebut fenomena ini sebagai folklore atau cerita rakyat (James Danandjaja, 1984). Plesetan adalah salah satu peradaban yang berkembang luas di kalangan masyarakat Jogja. Menurut penulisnya, ibarat mutiara yang berserakan, maka amatlah sayang kalau berbagai kisah cerita lucu ini tidak terdokumentasi dan abadikan dalam bentuk buku.

Dari daftar isinya saja sudah membuat kita tersenyum : Akademi Plesetanologi Yogyakarta, Banyak Jalan Menuju Lucu, Lain Habitat Lain Lucunya, dan Kesaksian Mantan Pelucu yang Telah Bertaubat.  

Pada halaman 139 – 149 menceritakan kisah lucu seputar gempa Jogja tanggal 27 Mei 2006, dengan sub judul Lindu, Oh Lindu (yang berarti Gempa, Oh Gempa). Saya sadurkan dari paragraf yang diberi judul Memori Lindu-ku.

Setelah dicermati ternyata ada begitu banyak cara orang Jogja mengenang peristiwa lindu 27 Mei 2006, di antaranya nama bayi yang lahir pada hari H terjadinya prahara ada yang diberi nama : Lindu Aji, Mei Linduwati, Putri Gempawati, Isua Tsunamiwati atau Ari Praharawati. Ada juga yang membuat gapura sebagai monument, seperti Gapura Perbatasan Propinsi DIY – Jawa Tengah yang terletak di jalan raya sebelah timur kompleks candi Prambanan, setelah hancur dihempas gempa, sekarang dibuat gapura baru yang sering dianggap sebagai momento-mori (tugu peringatan) terjadinya gempa 27 Mei 2006.
Bangunan rumah dan fasilitas umum di lahan perbukitan sekitar 2 km arah tenggara kota Prambanan berjajar 50 unit rumah dome, mirip dengan rumah Teletubies, sehingga banyak kalangan yang menyebut kompleks perumahan itu sebagai rumah Teletubies. Karenanya jangan heran kalau dari dalam rumah yang unik itu tiba-tiba berlarian para penghuninya yang lucu-lucu : Tinky Winky, Dipsy, Laala dan Poo.

Anda mau mencari cerita tentang mBah Maridjan yang terkenal itu? Di buku ini diceritakan juga kok. Bahkan Anda tidak akan mengira kalau mBah Maridjan ini ditahbiskan menjadi Rektor Institut Mitologi Yogyakarta dan sebagai Presiden Gunung Merapi. Kemasyhurannya antara lain tercermin dalam gubahan lagu untuk menghormatinya yang bertajuk Hymne mBah Maridjan (hal 119) :

Kepada mBah Maridjan, hormat grak!
Tegak grak!
Siapa yang tidak mengenalnya
Seorang lelaki suku Jawa
Penakluk gunung yang berbahaya
Gunung meletus karena doanya

Dikenal tak hanya di Indonesia
Juga dikenal mancanegara
Lelaki yang perkasa, lugu dan bersahaja
mBah Maridjan itu namanya

mBah Maridjan tokoh pemberani
mBah Maridjan tokoh yang disegani
Sebagai juru kunci, banyak yang menjuluki :
Semelekethe dari Gunung Merapi

Reff:
mBah Maridjan rosa.. rosa…
mBah Maridjan … pancen rosa