Stasiun Cikampek, 02 Mei 2015
Perjalanan ke arah Stasiun Cikampek kemarin mengingatkan saya akan kejadian seminggu sebelumnya seperti yang saya tuliskan dalam artikel Kalau ngantuk jangan nyetir. Tujuan saya ke Stasiun Cikampek mengantar mBah Uti-nya anak-anak yang akan pulang ke Solo, setelah seminggu berada di Karawang.
Bukan trauma, waktu luang sabtu pagi saya manfaatkan untuk tidur. Selain ngantuk karena habis bantu-bantu tetangga yang punya hajat, juga untuk menjaga tubuh segar saat nyetir nanti. Maklum, sudah usia sepuh gini kudu banyak istirahat. Berkegiatan dengan tenaga agak lebih saja membuat badan saya cepat capek.
Setelah mBah Uti memasuki area peron, saya tak langsung pulang. Saya menunggu hingga kereta datang. Saya mencari tempat duduk dan mendapati sebuah bangku yang diduduki oleh seorang lelaki paruh baya mendekap tas ransel lusuh.
“Jam berapa, Pak?” lelaki itu bertanya kepada saya.
“Jam dua kurang seprapat pak. Bapak mau ke mana?” kata saya.
Ia menggeser duduknya. Lalu mulai bercerita kepada saya dengan bahasa Jawa halus. Ia ingin pulang ke Semarang, tak punya ongkos.
Dalam hati saya ada bisikan: jangan dengarkan ocehannya dan segeralah pergi dari bangku ini, sebelum kamu menyesal!
Ia bekerja di Lampung. Sampai di Jakarta ia kecopetan. Surat-surat penting yang ikut raib bersama dompetnya adalah KTP dan SIM B1. Lalu, ia tunjukkan selembar surat Laporan Kehilangan dari Kepolisian.
“Lah, njenengan bisa sampai Cikampek bagaimana ceritanya?” saya menyelidik.
“Saya diturunkan kondektur kereta di sini. Tadi saya naik dari Stasiun Senen tanpa tiket. Waktu saya tunjukkan surat Laporan Kehilangan ini, kondektur tidak bisa membantu,” katanya mengiba.
“Kok njenengan masih di sini? Mau naik kereta lagi atau bagaimana?” saya bertanya lagi.
“Mungkin ngikut truk,” jawabnya singkat.
Saya segera bangkit dari duduk dan berjalan menuju loket tiket. Tak ada tiket lagi menuju arah Jawa Tengah. Saya ke parkiran untuk ambil uang yang saya simpan di mobil.
Bisikan datang lagi: bener kamu mau ngasih uang ke lelaki itu? Kalau menipu bagaimana?
Saya abaikan bisikan tersebut. Saya ambil beberapa lembar uang yang saya perkirakan cukup untuk naik bus ke Semarang.
Tak lama kemudian saya kembali ke bangku. Lelaki setengah baya itu masih duduk di sana. Saya berikan uang tersebut kepadanya.
Ia menerima pemberian saya lalu dengan membungkuk berkali-kali mengucapkan terima kasih. Ia segera meninggalkan stasiun dan berjalan ke arah angkot yang antri ngetem.
Saya meninggalkan Stasiun Cikampek seiring Kereta Krakatau bergerak menuju stasiun berikutnya.