Hanacaraka

Ajisaka – yang ditemani oleh dua abdi kinasihnya: Sembada dan Dora the Explorer, tiba di tanah Jawa, setelah berlayar berbulan-bulan dari negeri yang jauh. Saat itu mereka mendarat di Majethi. Hamparan tanah yang subur makmur itu membuat Ajisaka memutuskan untuk tinggal di Jawa. Ia jatuh hati dengan tanah Jawa.

“Dora, kamu tinggal di Majethi dulu ya. Aku dan Sembada akan melanjutkan perjalanan via darat masuk ke pelosok tanah Jawa ini. O, iya. Ini aku titipkan keris pusaka milikku. Jangan kamu berikan kepada siapa pun kecuali kepada diriku,” demikian pesan Ajisaka kepada Dora.

Semakin memasuki tanah Jawa, Ajisaka semakin heran. Tanah yang subur makmur itu tiada berpenghuni seorang manusia pun, padahal ia menyaksikan banyak rumah yang bergerombol namun setelah ia masuki tak ada orangnya. Sembada mencoba mencari ke kebun belakang rumah. Ia menemukan seorang laki-laki yang jongkok di balik rerimbunan pohon dengan wajah ketakutan. Ia membawa ke hadapan Ajisaka.

“Semua orang bersembunyi, ndoro. Kami takut jadi santapan penguasa tanah Jawa,” kata lelaki itu.

“Maksud kisanak, piye?” tanya Ajisaka.

“Saat ini tanah Jawa dikuasai oleh raksasa jahat bernama Dewata Cengkar. Ia senang sekali menyantap manusia,” terangnya.

Maka, Ajisaka meminta orang-orang untuk tenang dan beraktifitas seperti sedia kala. Ia akan menghadapi Dewata Cengkar. Maka, ia pun mendatangi sarang sang raksasa.

“Santaplah diriku, wahai Dewata Cengkar. Janganlah dirimu menyantap orang-orang tanah Jawa ini!” tantang Ajisaka.

“Hmm… kamu berkorban untuk mereka? Apa pamrihmu, anak muda?” kata Dewata Cengkar sambil menelan air liurnya. Pemuda yang ada di hadapannya sungguh segar.

“Tapi ada syaratnya!’ sela Ajisaka.

“Maksud lo?” tanya Dewata Cengkar heran.

Lalu, Ajisaka memberikan sorbannya. Ia meminta kepada Dewata Cengkar agar tulang-belulangnya nanti dibungkus dengan kain sorbannya itu. Dewata Cengkar sepakat dan mulai menggelar sorban milik Ajisaka di tanah dan membukanya.

Setiap kali membuka kain sorban, ternyata masih menyisakan gulungan. Dewata Cengkar melangkah mundur untuk membuka gulungan soban. Ia mundur selangkah lagi untuk membuka sorban, namun selalu saja masih ada gulungan sorban. Ia tak putus asa. Ternyata kain sorban itu terus memanjang. Dan tanpa ia sadari, sampailah ia di sebuah tebing laut selatan Jawa. Ia mundur selangkah lagi dan jatuhlah ia ke laut selatan. Ia ditelan ombak laut selatan. Tewas? Tidak. Ia berubah wujud menjadi buaya putih dan menjadi penghuni abadi laut selatan.

Syahdan, Ajisaka pun dinobatkan menjadi raja di tanah Jawa. Ia ingat Dora yang dulu ditinggal di Majethi. Maka, ia perintahkan Sembada untuk menjemput Dora beserta keris pusakanya.

“Tidak. Aku tak akan memberikan keris ini padamu kakang Sembada!” kata Dora.

Loh… kamu tak percaya aku diutus oleh Paduka Ajisaka?” tukas Sembada.

Ora! Aku menunggu Paduka Ajisaka mengambil sendiri keris ini,” kata Dora.

Karena tidak ada yang mau mengalah, maka kedua abdi Ajisaka tersebut berkelahi. Dua-duanya sampyuh. Tewas.

~oOo~

Dari peristiwa tersebut, untuk mengenang kesetiaan dua abdi kinasihnya Ajisaka menciptakan rangkaian aksara: ha na ca ra ka (ada utusan), da ta sa wa la (mereka berdua bertengkar karena salah paham), pa dha ja ya nya (keduanya sakti dan digdaya) ma ga ba tha nga (akhirnya tinggal mayat belaka).

~oOo~

Berabad-abad kemudian setelah Ajisaka menciptakan aksara Jawa, di sebuah negeri yang jauh dari tanah Jawa tercipta sebuah rangkaian aksara A sampai Z, nekjika dirangkai akan didapat satu kalimat: the quick brown fox jumps over the lazy dog.