Hak Untuk Malas

Bekerja hendaknya menjadi sekedar bumbu bagi senangnya kebersantaian, suatu olahraga yang bermanfaat bagi organisme manusia, suatu hasrat yang berguna bagi organisme sosial – Paul Lafargue (1842-1911)

Malas. Perasaan inilah yang menghantui saya beberapa hari belakangan ini. Apakah sebelumnya saya sangat sibuk, sehingga saya merasa tertekan dalam bekerja, lalu ujung-ujungnya muncul perasaan malas? Tidak. Saya tidak mengenal sibuk, karena pekerjaan saya selesaikan dengan skala prioritas.

Setiap hari, jam 7 pagi saya sudah berada di belakang meja kerja, lalu sampai di rumah jam 8 malam. Saya menghindari membawa pekerjaan kantor ke rumah. Jangan sampai suasana neraka di kantor terbawa pulang ke rumah, demikian pula sebaliknya. Tapi kalau membawa suasana surga, tidak ada salahnya.

Tapi apakah saya mempunyai waktu senggang? Ya, saya punya dan itu saya jaga jangan sampai hilang. Hari libur belum tentu menjadi waktu senggang saya. Kadangkala, di hari libur kegiatan saya justru semakin padat saja, tanpa menyisakan waktu senggang meskipun saat itu saya sedang berlibur. Bahkan yang lebih parah kegiatan saya tidak produktif dan terkesan membuang waktu saja, contohnya ketika lalu lintas macet. Maunya berlibur untuk menghilangkan stress, yang terjadi justru membangkitkan stress baru.

Dan saya pun ingin bermalas-malasan. Tiduran, leyeh-leyeh memandang tarian ikan arwana di akuarium sambil mendengarkan campursarinya Cak Diqin, ngemil Chitato rasa barbeque panggang atau nyruput wedang jahe hangat.

Gunakan hak malas Anda sebaik-baiknya. Cuma pesan saya, jangan pernah malas untuk mencintai orang yang Anda sayangi.