FC IPA 3, Siapa Berani Lawan?

Saya tidak ingat, kenapa kami dahulu ketika klas 1 dan 2 SMA suka banget main bola. Siapa juga yang mendisain kaos olah raga abu-abu bergambar burung hantu yang sedang memikirkan sebuah hitungan: 1 + 1/3 kalau disusun ke bawah menjadi seperti 1 + 1 = 3. Kemudian di bawah gambar burung hantu tertulis 1 IPA 3. Pada saat kelas 2 dan klas 3, menggunakan kaos olah raga warna kuning – hijau. Dengan kaos-kaos itulah kami suka main bola.

Lapangan yang kami gunakan untuk main bola ada di sebelah barat rumah saya, sekarang sudah diberi nama Stadion 45, dulu lapangan ini terbuka hanya dibatasi tanggul, orang-orang menyebut Lapangan Umum. Kalau pas olah raga di sini, rumah saya sering dipakai sebagai tempat untuk ganti baju atau sekedar minum air putih setelah olah raga. Selain lapangan umum, kami juga menggunakan lapangan Tegalasri (di belakang kantor DPRD).

Latihan main bola kami lakukan pada sore hari sampai dengan maghrib, tidak lengkap 11 lawan 11 tidak apa-apa, asal main bola. Kalau pas ada tantangan tanding, kami pilih teman yang pintar main bola. Saya cuma sebagai pemain cadangan saja, lebih seringnya sebagai tim hore belaka.

Perhatikan tim tangguh kami. Haryadi, meskipun anaknya kecil tapi larinya kencang dan gesit. Sarwanto, pintar memainkan bola di antara kaki-kaki lawan. Sigit Danangjaya, kiper yang handal apalagi kalau disemangati oleh para cewek. Ada Benny, dia ini setinggi Haryadi tapi nafasnya panjang betul lari ke sana ke mari tak habis-habis nafasnya. Terus si Setyoso, dia ini atlit sepak takraw tingkat propinsi, sangat pintar juga main bola. Ada Sudiman si Nelson Mandela, langkah-langkahnya panjang karena dia ini memang tinggi. Agus Haryanto, si kalem yang suka menyetak gol ke gawang lawan. Bambang Asihno, otot-otot kakinya kuat karena rajin bersepeda ke sekolah yang jaraknya 20 km pp setiap hari. Rismono Akarihadi (saya kagum betul dengan nama belakang ini, dari mana bapaknya Rismono mendapatkan ide) lincah seperti kucing saat membawa bola. Tidak salah teman-teman memanggilnya Cêmèng (anak kucing). Terus, Heru Utomo di kurus kriting ini sangat gesit jika menembus kepungan lawan. Sukir, gertakannya menakutkan lawan. Didied, si kapten lapangan akan kesal jika “petunjuk”nya tidak dituruti oleh pemain bola yang dipimpinnya.

Musuh bebuyutan kami adalah tim bola klas 3 IPS 3 (mereka menyebut anak-anak GaSosTig = Tiga Sosial 3). Main dengan mereka kadang tim kami kalah. Setiap akan tanding kami iuran mengumpulkan uang, untuk taruhan. Tidak banyak sih, memang kami tidak mampu kalau harus mengeluarkan banyak uang. Kalau kami menang, sebagian untuk jajan, sebagian disimpan untuk deposit untuk taruhan tanding nanti.

Kami berhenti total main bola karena permintaan wali klas 3 kami, Pak Rahsananto (alm). Beliau berpesan agar lebih konsentrasi belajar karena sudah klas 3, yang akan menghadapi ebtanas (sekarang UN) dan tentunya akan melanjutkan kuliah. Kami menuruti nasihatnya, dan kami telah membuktikan menjadi anak-anak yang berprestasi (ehm!).

Tahun kedua kami kuliah (1987/1988), kami mengadakan reuni dengan teman-teman sekelas dulu. Kami mengambil tempat pertemuan di Agro Wisata Bromo – ini wilayah pegunungan di Karanganyar. Entah siapa yang mencetuskan ide, acara terakhir reuni hari itu main bola di lapangan Tegalasri.

Kami main bola dengan pakaian yang kami kenakan hari itu. Tidak sulit mencari bola. Saat istirahat, kami foto bersama dulu. Jepret… hasilnya foto di atas itu.

Bisa nebak nggak, foto saya yang mana?