Rumah mentereng bercat putih itu berdiri kokoh di antara persawahan dan kebun-kebun palawija. Sangat kontras dengan penampakan lingkungan sekitarnya, yang kebanyakan rumah-rumah semi permanen yang terbuat setengah batu-bata setengah di atasnya papan. Siapun akan tahu siapa pemilik rumah mentereng tersebut, wong pemiliknya sudah sangat dikenal oleh kalangan tertentu. Betul, pemilik rumah itu adalah Eyang Sabar, seorang spiritualis khusus tukang ndagel, pelawak atawa komedian. Spesialisasinya memang di bidang perlawakan. Artinya, bagi pelawak yang ingin lucu, mesti berguru ke Eyang Sabar.
Pada suatu malam, dilaksanakan pasewakan agung di pendopo rumah Eyang Sabar. Para pelawak duduk bersimpuh di hadapan Eyang Sabar. Dengan senyuman khas seorang yang waskita, pandangan Eyang Sabar menyapu seluruh wajah para murid kinasihnya yang bersikap sangat takzim.
“Ayo siapa yang mau bicara duluan, Eyang sudah siap mendengarkan,” katanya lirih namun terdengar jelas.
“Ampun Eyang, saya mau berkeluh-kesah. Tanggapan saya kok akhir-akhir macet. Kalah order dibanding pelawak-pelawak muda yang jam terbangnya cuma seupil dari pengalaman saya,” keluh pelawak yang suka bikin jambul di kepalanya.
Eyang Sabar menganggukkan kepala. Tatapannya tertuju pada pelawak yang punya gigi tonggos, yang menurut penerawangannya ia ingin mengungkapkan uneg-unegnya. “Coba, kamu!”
“Nggih Eyang. Sama seperti mas Jambul. Saya nggak ada yang nanggap babar blas. Bukannya dari wajah saya saja sudah terlihat lucu, bukan? Gigi ini modal saya melawak,” katanya sambil menelan ludah yang hampir menetes dari ujung giginya.
“Hus… kamu nggak boleh ngomong begitu. Jangan tidak mensyukuri nikmat Gusti Allah yang telah memberimu wajah lucu seperti itu. Dari sanalah kamu mendapatkan rejeki toh. Siapa lagi yang mau bicara?”
“Dalem, Eyang. Saya juga ingin bercurhat. Pripun supaya lucu? Saya bosan melawak dengan cara pethakilan, pura-pura jatuh dan sebangsanya. Melawak cara cerdas pokoknya, Eyang,” kata lelaki yang saban malam nongol di tipi.
Eyang Sabar sungguh orang yang sabar. Ia menghela nafas sebelum memberi sesorah kepada para muridnya.
“Begini ngger anak-anakku. Kalian nggak usah berkecil hati karena nggak laku melawak. Ini memang lagi zamannya. Lawakan yang laku sekarang bukan lawakan cerdas, tetapi lawakan yang mencela orang lain. Lawakan macam apa itu? Begini saja. Sambil menunggu zaman normal, kalian akan aku berikan subsidi, bisa berupa dana segar, rumah, mobil, terserah kalian maunya yang mana… tapi ada syaratnya!”
Semua diam. Menunggu kelanjutan kalimat Eyang Sabar. Tak ada yang berani bicara. Namun, terjadi sesuatu yang mengejutkan di luar rumah Eyang Sabar. Semua yang hadir tersentak kaget.
“Bakar… ayo bakar rumah dukun yang berlagak orang suci ini!!”
Puluhan orang telah mengepung rumah Eyang Sabar dengan membawa obor di tangan masing-masing.
Pantas saja para pelawak sekarang kurang lucu karena banyak kelucuan-kelucuan di sekitar kita: orang gampang terprovokasi untuk melakukan tindakan anarkis, penegak hukum yang kaya-raya karena menggarong uang negara plus punya istri simpanan di mana-mana, ada maling bersumpah seribu persen kalau ia bukan maling, ada guru mencabuli muridnya, ada ayah memperkosa anaknya, ada suami memutilasi tubuh istrinya, dan sebagainya.