Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan

Bulan menuju malam, Amongraga meniduri Tambangraras di ranjang bidadari dan membanjiri tubuhnya dengan air mata. Mereka mulai main asmara yang langka, tanpa aturan atau tujuan, tanpa kalah atau menang. Beberapa saat menjelang subuh, Tambangraras terlena dalam sanggama.

Perlahan, Amongraga undur diri dari kelelapan istrinya. Diselimutkannya kain peraduan ke atas tubuh telanjangnya, bagai kafan bagi sanggama mereka. Ditulisnya surat kepada Tambangraras:

“Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.”

Dikutip dari bagian akhir Tembang 113 buku Centhini – Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, suatu penggalan dalam bahasa Indonesia dari karya asli Elizabeth D. Inandiak dalam bahasa Perancis. Buku ini diterbitkan oleh Galang Press, Agustus 2004.

Dalam Serat Centhini yang asli dikisahkan bahwa Amongraga dan istrinya, Tambangraras, melewatkan empat puluh malam dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh. Serat Centhini adalah salah satu karya sastra besar dunia, namun belum diterjemahkan dalam bahasa apapun, kecuali bahasa Perancis oleh Elizabeth D. Inandiak.