Ekonomi Biaya Tinggi

Seberapa sering Anda mendengar istilah ekonomi biaya tinggi? Dalam arti yang mudah dipahami, ekonomi biaya tinggi adalah keluarnya biaya “siluman” sehingga menyebabkan harga barang atawa jasa menjadi tinggi atawa tidak wajar. Sebagai contoh, harga sekilo jeruk seharusnya 4 ribu rupiah, namun karena harus menanggung banyak biaya “siluman” maka harga jeruk yang dibeli konsumen menjadi 12 ribu per kilonya.

Ada berbagai macam penyebab timbulnya ekonomi biaya tinggi di antara adanya pungli (pungutan liar), korupsi, kolusi, dan perizinan. Keempat hal tersebut saling berkaitan erat satu dengan lainnya.

Kemudahan pemberian izin sesungguhnya dapat menjadi solusi mengurangi praktik ekonomi biaya tinggi. Semakin banyak peraturan akan semakin memberi peluang untuk korupsi, kolusi dan pungli yang berujung pada ekonomi biaya tinggi. Apakah demikian parahnya mengurus perizinan di Indonesia? Apakah jargon “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” masih dipegang teguh oleh para birokrat kita? Otonomi daerah yang memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi daerah untuk memunggut pajak dan retribusi telah melahirkan perda-perda yang bermasalah karena telah menciptakan ekonomi biaya tinggi di daerah.  Seperti dilansir oleh Bank Dunia, dibandingkan dengan Cina dan Singapura, pengurusan izin memulai bisnis baru di Indonesia membutuhkan waktu yang jauh lebih lama. Di Cina butuh waktu 41 hari, Singapura bahkan hanya butuh 8 hari dan Indonesia butuh 151 hari.

***

Kita bahas saja biaya ekonomi yang timbul di lapangan. Contoh sederhana buah jeruk di atas. Misalnya, harga jeruk dari petani di Medan sana 4 ribu rupiah per kilo dan akan didistribusikan ke Jakarta. Untuk muat jeruk ke dalam truk saja sudah muncul istilah japrem atawa jatah preman yang menguasai lapangan. Mereka tidak bekerja memuat jeruk ke atas truk, namun memungut uang jago kepada tenaga muat. Urus surat jalan ada ongkos yang harus dikeluarkan. Sopir yang membawa truk, sudah dibekali sejumlah uang untuk makan, BBM, dan tentu saja uang “siluman” yang dipersiapkan untuk melancarkan perjalanan si jeruk sampai di Jakarta. Nanti, sopir truk akan bertemu dengan petugas yang mengurusi transportasi perhubungan darat yang berdiri di pintu terminal angkutan umum, bertemu dengan petugas berseragam coklat yang memungut retribusi ini-itu, petugas pengatur lalu-lintas, petugas di jembatan timbang, petugas pelabuhan, preman-preman jalanan, preman pasar induk dan lain-lain. Semuanya meminta uang “siluman” atawa yang populer disebut sebagai “mel-melan“. Tak heran jika harga jeruk terdongkrak menjadi 12 ribu per kilo di tingkat konsumen. Nanti, harga itu akan semakin tinggi, jika jeruk-jeruk tersebut didistribusikan ke kota-kota lain melalui jalur Pantura.

***

Itu baru urusan jeruk. Komoditas yang lain sama saja: beras, gula, minyak goreng, telur, tepung, kacang tanah, buah-buahan, semen, kayu, dan lain-lain, dari harga yang seharusnya murah, kita sebagai konsumen akan mendapatkan harga yang sangat mahal! Akhirnya, ekonomi biaya tinggi ditanggung oleh rakyat kebanyakan.

Mari kita tengok lagi kepada petani jeruk. Apakah benar harga jeruk sekilonya 4 ribu rupiah? Apakah petani sudah mendapatkan keuntungan? Di balik harga 4 ribu per kilo tersebut terselip juga ekonomi biaya tinggi.

Loh pripun toh?

Misalnya, dalam harga bibit jeruk dan harga pupuk banyak biaya “siluman” seharusnya petani mendapatkan harga yang murah. Di sisi yang lain petani sudah terjerat oleh para tengkulak. Bisa jadi harga jeruk yang 4 ribu rupiah tersebut petani sudah “bak-buk“, impas. Tak mendapatkan apa-apa. Sudah untung jika tak meninggalkan hutang.