Dwi-wicara Hanoman dengan Rahwana (1)

Misi yang dibawa oleh Hanoman menuju Kerajaan Alengka adalah untuk membebaskan Sinta. Tugas berat yang dibebankan Rama ke pundaknya itu dilaksanakan dengan sepenuh hati.

Ketika ia yakin kalau Sinta dalam keadaan baik-baik saja, Hanoman membuat ontran-ontran di keraton milik Rahwana dengan membakar beberapa bangunan. Ia sulut ujung ekornya, lalu ia kibas-kibaskan api yang menyala itu ke segala penjuru. Beberapa bangunan di keraton Alengka hangus terbakar. Insiden tersebut terkenal dalam kisah Hanoman Obong.

Hanoman heran, kenapa dalam keributan semacam itu Rahwana tak tampak batang hidungnya. Ke mana ia? Hanoman meloncat dengan lincah mencari keberadaan Rahwana.

Arkian, ia menemukan sesosok manusia tengah bersemedi yang tak lain adalah Rahwana. Ia mengendap memasuki ruang semedi. Namun betapa terkejutnya Hanoman, ternyata langkahnya yang super hati-hati itu terdengar oleh Rahwana.

“Siapa kisanak? Masuk keratonku tanpa permisi. Kamu mencariku, anak muda?”

Hanoman makin terkejut, karena kedatangannya ternyata diketahui oleh Rahwana. Keterkejutan kembali ia hadapi ketika Rahwana menoleh kepadanya. Tak ada wajah-sepuluh atawa Dasamuka, namun hanya satu wajah. Itu pun wajah yang tampan, bukan sosok raksasa. Jadi nggak benar dong kabar yang beredar selama ini, kalau Rahwana itu si Dasamuka dan berujud raksasa? Hanoman belum tahu, kalau jejak raksasa masih tertinggal di tubuh Rahwana, karena Rahwana mempunyai taring dan berambut gimbal.

“Tapi, benarkah Anda ini Raja Rahwana, penguasa Alengka yang menculik istri junjungan saya?”

“No… no… kamu salah besar anak muda. Aku tak menculik Sinta. Catat ini, aku mengambil yang menjadi hakku. Sinta itu milikku, istri yang dijanjikan oleh para dewa di kahyangan sana.”

“Maksudnya?”

Dasar kera, Hanoman dengan gerakan refleks menggaruk kepala sambil menggelengkannya. Lagi-lagi ia terkejut dengan kenyataan itu. Hak? Kok bisa?

“Tentu saja kamu heran. Aku akan menceritakan kisah masa lalu yang nanti bisa kamu ceritakan juga kepada Raja Rama yang menjadi atasanmu. Sesungguhnya Rama itu tidak berhak memiliki Sinta.”

Kemudian Rahwana berkisah.

Aku melakukan protes kepada para dewa kenapa dilahirkan sebagai raksasa yang berkepala sepuluh. Sungguh sangat malu ketika aku diolok-olok sebagai Dasamuka. Aku pergi ke puncak gunung melakukan tapa-brata selama sepuluh tahun. Saban tahun aku penggal satu kepalaku. Ketika kepalaku tinggal satu, turunlah Bathara Narada. Ia mencegahku memenggal kepala yang terakhir.

Sampai pada kisah itu Hanoman terkesima. Ia amati tubuh lelaki di hadapannya. Di leher Rahwana tak ada lagi bekas sembilan cabang-leher yang tertebas pedang Rahwana.

“Bagaimana Dewi Sinta ditakdirkan dewata menjadi istri Anda? Bukankah umur Anda dengan Dewi Sinta berjarak puluhan tahun?”

Rahwana diam mengatur nafas.