Duswanta Ingkar Janji

Saya segera unjuk diri dari hadapan Mpu Kanwa, sebab kuatir kalau Sakuntala dan anaknya sudah keburu pergi. Keping cakram padat yang diberikan oleh Mpu Kanwa saya simpan di ransel saya.

Beruntung sekali, ketika saya sampai di pertigaan jalan Sakuntala dan anaknya masih berada di sana. Kepada Sakuntala, saya ceritakan perjumpaan saya dengan ayahnya, maka ibu dan anaknya itu pun saya antar ke ibukota Hastinapura.

“Saya baru tahu kalau nakajeng Sakuntala bukan putrinya Mpu Kanwa. Malah sebelumnya saya mengira kalau nakajeng ini cucu beliau.”

“Apakah ayahanda menceritakannya kepada Paklik?

“O, tidak!”

Saya tetap berkonsentrasi di belakang kemudi. Jarak ke ibukota Hastinapura sekira dua jam, cukup bagi saya jika ingin mengorek keterangan dari Sakuntala, setelah saya mendapatkan kisah kelahiran Sakuntala dari kebun sebelah.

Suara Sarwadamana (ah… nama ini kenapa begitu sulit saya eja) memecah keheningan kabin Kyai Garuda Seta.

“Pakde kan sudah tua, kenapa masih mau belajar kepada eyang Kanwa?”

Sakuntala tersenyum kepada saya, mungkin ia tak enak hati mendengar pertanyaan anaknya. Saya pun tersenyum dan mengambil ancang-ancang untuk menjawab.

“Cah bagus, Pakde sedang menikmati masa tua dengan terus tetap belajar. Bukankah menjadi tua dan bahagia adalah pilihan cara menyikapi masa tua, merasakan curahan berkat di atas karunia?”

Saya yakin kalau Sarwadamana paham dengan ucapan saya. Sebagai cucu Mpu Kanwa tentunya saban hari ia digembleng dengan ilmu filsafat tingkat tinggi.

Saya bereka-wicara kembali untuk kalimat yang sama. Sakuntala harusnya memanggilku ‘mas’ wong anaknya memanggilku dengan sebutan ‘pakde’. Atau aku dipanggil ‘mbah’ oleh Sarwadamana soalnya ibunya memanggilku dengan sebutan ‘paklik’.

Nakajeng Sakuntala pasti kangen banget untuk dapat segera berjumpa dengan Prabu Duswanta. Berapa lama, enam tahun ya?”

“Iya, Paklik. Saban hari saya menanti kedatangannya menjemput kami di padepokan seperti janjinya.”

Ah, perempuan desir angin rupanya.

“Hmm… enam tahun. Lama sekali itu. Saya ndak ketemu bulik tiga mingguan ini saja kangennya minta ampun. Dada rasanya mau meledak!”

“Pakde curhatnya lebay deh. Belajarlah menahan rindu dari ibuku ini. Kata Eyang Kanwa, ibuku adalah wakil para bunda nan legawa.”

Saya tertawa ngakak mendengar ledekan Sarwadamana.

***

Dua penjaga gerbang ibukota Hastinapura menghentikan kami. Mereka menanyakan tujuan kedatangan kami. Tanpa proses bertele-tele kami diizinkan untuk memasuki istana.

Setelah memarkir Kyai Garuda Seta, kami melapor lagi kepada penjaga gerbang istana. Prosedur bertemu raja sangat rumit tetapi bisa kami lalui. Untuk bertemu dengan Prabu Duswanta, kami dikawal sangat ketat.

Juru bicara kerajaan mulai bertanya kepada kami.

“Maksud kedatangan kalian menghadap Prabu Duswanta apa?”

“Saya hendak bertemu dengan suami saya, maka jauh-jauh saya datang dari tengah hutan di lereng Gunung Panawijen.”

“Wahai perempuan yang elok parasnya, tipuan macam apa yang sedang engkau permainkan. Engkau mengaku-aku sebagai istriku?”

Prabu Duswanta angkat bicara. Ia berjalan memutari kami sambil berkacak pinggang. Ketika ia menantap wajah Sarwadamana, ia nampak terpana. Wajah mereka sangat mirip.

“Bahkan saya datang ke sini bersama anak kita, Kakang Duswanta.”

“Tidak!!! Aku tidak pernah mempunyai hubungan apa pun dengan seorang perempuan di luar istana atau pun anaknya. Prajurit, seret mereka keluar dari hadapanku. Aku tak mau melihat mereka ada di istanaku!”

Prabu Duswanta murka. Entah apa yang ada di benaknya, kenapa ia menolak Sakuntala dan anaknya. Apakah ia malu mengakui perbuatannya di masa lalu? Atau ia ingin mengingkari janjinya?

“Sebentar, Paduka. Izinkan saya ikut berbicara.”

“Hei, siapa kamu Pak Tua? Kamu suami dari Sakuntala? Mau memerasku?”

Mendengar kata-kata Duswanta saya hampir muntab. Untung saja saya mempunyai saldo bank kesabaran cukup banyak. Saya segera mengeluarkan laptop dan memasukkan kepingan cakram padat pemberian Mpu Kanwa.

“Paduka Prabu Duswanta, lihatlah gambar yang ada di layar ini!”

Saya sebetulnya berspekulasi saja. Sebagai orang yang waskita, Mpu Kanwa tentu akan tahu apa yang akan dihadapi oleh Sakuntala ketika berhadapan dengan Duswanta makanya ia menitipkan keping CD kepada saya.

Dan di layar laptop terpapar adegan ketika Duswanta melamar dan menikahi Sukantala di Padepokan Mpu Kanwa, lengkap dengan janji yang diucapkan oleh Duswanta. Itulah sebuah alat bukti yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun.

Ketika melihat tayangan tersebut saya sebetulnya heran, Sakuntala kok awet banget ayune! Tak ada beda dibandingkan dengan paras enam tahun yang lalu.

“Inilah buah cinta kita, Kakang. Sarwa anakku, bersimpuhlah di depan ayahandamu!”

Sarwadamara melangkah mendekati Prabu Duswanta. Tanpa diduga oleh siapa pun, Duswanta memeluk anaknya dan membawa ke arah Sakuntala. Kini mereka bertiga saling berpelukan.

“Maafkan aku Sakuntala, enam tahun aku menelantarkan kalian. Aku akan memenuhi janjiku.”

Raja Duswanta membawa Sakuntala dan Sarwadamana menuju balkon istana. Dari atas balkon itu ia berteriak lantang agar segenap orang yang berada di sekitar alun-alun mendengar titahnya.

“Wahai rakyat Hastinapura. Permaisuriku Sakuntala telah kembali ke istanaku. Dan satu lagi, inilah anakku pewaris tahtaku kelak. Ia bernama Pangeran Bharata.”

Sejenak rakyat Hastinapura tertegun tetapi kemudian berubah menjadi sorak-sorai kegembiraan. Mereka berbahagia menyambut kedatangan permaisuri dan putra mahkota.

Prabu Duswanta telah mengganti nama Sarwadamana menjadi Bharata. Kelak ketika Bharata berkuasa ia mendirikan Wangsa Bharata yang menjadi nenek moyang klan Pandawa dan Kurawa.