Dongeng untuk cucuku

Seminggu berkunjung ke rumah anakku, aku didaulat oleh kedua cucuku untuk mendongeng sebagai penghantar tidur mereka. Untung saja ingatanku masih menyimpan berbagai kisah dongeng yang pernah aku dongengkan kepada anak perempuanku.

“Kek, malam ini kakek ingin mendongeng apa?”

“Kalian ada ide? Kakek mengikuti saja kemauan kalian.”

“Apa ya kek?”

“Ya sudah. Kakek mendongeng tentang bidadari yang bernama Nawangwulan. Dengarkan baik-baik!”

Hanya karena keisengan Jaka Tarub menyembunyikan pakaian Nawangwulan – sang bidadari dari kahyangan – yang sedang mandi di telaga, akhirnya ia dapat mempersunting menjadi istrinya. Bagi Nawangwulan saat itu tak ada pilihan selain menerima kebaikan Jaka Tarub yang memberikan selembar kain milik emaknya untuk menutup tubuh telanjangnya.

Hari demi hari dilalui oleh Jaka Tarub dengan gairah hidup yang baru, meskipun pekerjaan sehari-harinya ya begitu-begitu saja: bangun tidur, minum kopi, pergi ke hutan mencari kayu bakar, pulang, tidur. Tetapi dengan kehadiran Nawangwulan di rumahnya, Jaka Tarub tidak buru-buru memejamkan mata. Ia bercengkerama dulu dengan istrinya yang jelita itu.

Hari pun berganti bulan, maka lahirlah anak pertama mereka: Nawangsih. Jaka Tarub semakin giat bekerja. Masih tetap menjelajah hutan, namun ia mulai memikirkan bagaimana memberikan asupan makanan untuk anak dan istrinya yang lebih baik. Ia membuka areal persawahan untuk ditanami padi.

Hasil panen yang tidak melimpah ia simpan di lumbung padi yang ia bangun di belakang rumah. Bulir-bulir padi ia tata rapi untuk memudahkan istrinya mengambilnya untuk dimasak sehari-hari.

Pada panen berikutnya, ia kembali menyimpan padi di lumbung belakang rumah. Jaka Tarub heran, kenapa bulir-bulir padi panenan musim lalu seperti tidak berkurang, sementara saban hari ia menikmati nasi masakan istrinya.

Pada suatu hari, Nawangwulan pamit kepada suaminya kalau ia ingin pergi ke pasar dan berpesan, “Kang Tarub, tolong jaga dandang di dapur jangan sampai apinya padam. Sepulangku dari pasar, nasi sudah matang.”

Jaka Tarub menyanggupi permintaan istrinya. Ia menjaga api di tungku supaya tetap menyala seperti pesan istrinya.

Perut Jaka Tarub lapar. Ia tak sabar menunggu istrinya pulang dari pasar. Ia pun membuka dandang tempat menanak nasi.

Apa yang dilihat oleh Jaka Tarub?

Bukan nasi. Hanya sebulir padi. Jaka Tarub takjub. Rahasia terungkap, kenapa bulir-bulir di lumbung padinya seakan tidak pernah berkurang. Ia tersenyum dan bersyukur mempunyai istri seperti Nawangwulan.

Hari-hari berikutnya, Jaka Tarub semakin sayang pada Nawangwulan. Demikian juga Nawangwulan, makin cinta pada Jaka Tarub.

Di balik kadigdayaan seorang suami, ada peran seorang istri. Pun dengan Jaka Tarub. Kini, ia dinobatkan warganya menjadi pemimpin Pedukuhan Tarub, dengan sebutan Ki Tarub. Nama asli Jaka Tarub yang dulu dikenal dengan Kidang Telangkas pun mulai terlupakan.

~oOo~

Tanganku ditarik cucuku, supaya segera menemaninya tidur. Malam ini mereka menagih janjiku yang akan mendongeng lagi malam kedua.

“Kalian tahu binatang yang bernama kancil?”

“Tahuuu….. aku pernah melihatnya di Taman Safari!”

“Baiklah, kakek mau mendongeng tentang binatang yang cerdik itu.”

“Judul dongengnya apa kek?”

“Seekor anjing dan putri paman petani. Kini, kakek mulai mendongeng.”

Pedukuhan Tarub pagi itu masih sepi. Kesempatan seperti ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh si Kancil.

Dengan cara mengendap-endap, ia mendekati sebuah kebun milik paman petani. Hup! Dan si Kancil pun masuk perangkap yang dibuat oleh paman petani di kebun ketimun miliknya. Keempat kaki Kacil diikat, lalu dengan menggunakan batang kayu, paman petani memikul Kancil untuk dibawa pulang ke rumah. Sampai di rumah, Kancil dikurung pada sebuah kandang yang kokoh dan dikunci. Kancil terpuruk menyesali keteledorannya sehingga bisa masuk perangkap paman petani.

Dari kejauhan seekor anjing peliharaan paman petani mengamati apa yang dilakukan paman petani terhadap si Kancil. Ketika paman petani masuk ke dalam rumahnya, anjing tersebut menghampiri kandang tempat Kancil dikurung.

“Ha…ha… tamatlah riwayat si Kancil yang terkenal cerdik itu. Sungguh malang nasibmu, kawan. Sebentar lagi kamu akan disembelih oleh bibi petani dan dijadikan lauk santap malam mereka!” ledek si anjing.

Kancil diam. Tapi berpikir.

“Hey… jangan tertawa kamu. Tahukah kamu, kalau aku dikurung seperti ini karena akan dikawinkan dengan putri paman petani? Istilahnya, aku sedang dipingit, tahu!” ujar si Kancil.

“Jia…ha…ha… itu tipuan kuno, Cil. Aku bukan anjing dungu yang bisa kamu tipu. Ealah…. Kancil…. Kancil…. malang nian nasibmu….,” kata si anjing sambil berlalu menjahui Kancil.

Kata-kata anjing tersebut membuat Kancil terkejut bukan kepalang. Kok dia bisa tahu kalau akan aku tipu?

Kancil yang mempunyai reputasi kecerdikan yang sangat terkenal cepat menguasai suasana hatinya yang galau. Ia juga berpikir kalau sebentar lagi bakal meregang nyawa dan dagingnya akan menjadi gulai yang sedap disantap.

Dari dalam kandang Kancil bernyanyi riang seolah-olah ia menikmati hidup di kurungan. Nyanyiannya terdengar oleh putri paman petani yang sedang memetik sayuran di kebun belakang rumah. Ia menghentikan kegiatannya dan menajamkan telinga mencari dari mana arah nyanyian merdu itu.

Putri paman petani pun terheran-heran ketika didapatinya si Kancil yang bernyanyi. Ia segera menghampiri si Kancil, memasukkan jemari ke kandang supaya bisa mengelus kepala si Kancil. Hmm…. si Kancil semakin bersemangat dalam bernyanyi. Lalu, setelah menyelesaikan nyanyiannya, Kancil membungkukkan badannya sebagai sikap hormat kepada putri paman petani. Sikap Kancil inilah yang membuat putri paman petani memberanikan diri membelai tubuh Kancil.

Dari kejauhan si anjing menyaksikan adegan tersebut. Tetapi ia tidak mendengar apa yang dikatakan putri paman petani kepada si Kancil. Ia juga melihat paman petani datang menghampiri putrinya, lalu putri paman petani menarik-narik tangan ayahnya dan menunjuk ke arah pintu kandang tempat Kancil dikurung. Mereka masuk ke dalam dapur.

“Ayah tidak mau melepaskan binatang itu, anakku. Nanti dia akan merusak lagi tanaman ketimun kita. Ayah bermaksud menyembelihnya, untuk lauk kita malam nanti,” kata paman petani kepada anaknya yang minta si Kancil dilepaskan.

Syahdan, si anjing yang penasaran menyaksikan adegan putri paman petani yang mengelus tubuh si Kancil berjalan mendekati si Kancil.

“Apa yang dilakukan putri paman petani kepadamu tadi, Cil?” tanya si anjing.

“Oh…. kamu melihatnya ya. Dia sudah ngebet ingin segera menikah denganku. Paman petani dan anaknya sekarang masuk ke rumah untuk membicarakan rencana pertunanganku dengan putri paman petani,” ujar si Kancil.

“Waw… bagus nian nasibmu, kawan!” kata si anjing.

“Kamu mau menggantikan posisiku?” Kancil menawarkan kelicikan.

“Boleh…. boleh….. itu yang aku tunggu!!” jawab si anjing girang.

Tak perlu menunggu lama, anjing pun masuk ke dalam kandang. Kancil segera melompat keluar kandang.

Sebelum pergi ia sempatkan mengunci kembali kandang terkutuk itu.

~oOo~

Malam ketiga aku makin bersemangat untuk mendongeng. Apalagi tadi di meja makan para cucuku menceritakan kepada orang tua mereka kalau aku pandai mendongeng. Aku ingin mengasah logika mereka, maka aku mendongengkan cerita tentang anak gembala dan tiga orang musafir.

Seruling bambu yang ditiup oleh anak gembala itu telah menarik perhatian tiga orang musafir yang kebetulan lewat di padang gembalaan wilayah Pedukuhan Tarub. Tiga orang musafir masing-masing mempunyai satu pertanyaan yang harus segera dijawab oleh seorang yang bijaksana, karena pertanyaan mereka sangat membebani fikiran mereka.

Mereka sudah berkeliling ke berbagai tempat, namun tak satu pun orang yang dianggapnya bijaksana dapat menjawab pertanyaan mereka. Nada seruling seperti menyihir mereka, dan bersepakat kalau peniup seruling itulah orang yang mereka cari.

Mereka menghampiri anak gembala dan mereka memperkenalkan diri. Kedatangan ketiga musafir tersebut menarik perhatian anak gembala yang lain. Sehingga, berkerumunlah orang-orang di bawah pohon mengelilingi anak gembala peniup seruling.

Ketiga musafir tidak sabar lagi untuk mengajukan pertanyaan kepada anak gembala peniup seruling. Musafir pertama segera angkat bicara, “Wahai anak gembala. Tahukah kamu di manakah sebenarnya pusat bumi?”

Anak gembala itu menjawab, “Tepat di bawah telapak kaki saya ini, tuan.”

“Kamu yakin?” tanya musafir pertama penasaran. “Bagaimana kamu bisa membuktikan omonganmu, nak?”

Anak gembala mengambil nafas dan berkata, “Kalau tuan tidak percaya, coba tuan ukur sendiri!”

Musafir pertama terdiam. Lalu, musafir kedua pun segera menyela dengan pertanyaan yang selama ini dipendamnya.

“Nak, berapa jumlah bintang di langit sana?” tanya musafir kedua sambil menunjuk ke langit.

“Jumlah bintang-bintang yang bertaburan di langit sana, jumlahnya sama dengan jumlah bulu yang tumbuh di kambing saya ini, tuan!” jawab anak gembala peniup seruling.

“Bagaimana kamu membuktikan hal itu?” tanya musafir kedua lagi.

“Mudah saja tuan. Silakan tuan hitung bulu kambing ini. Nanti tuan akan tahu berapa jumlah bintang di langit,” tukas anak gembala.

Musafir kedua pun terdiam, lalu berujar, “Itu sih jawaban tolol, nak. Bagaimana mungkin aku bisa menghitung jumlah bulu kambingmu?”

Anak gembala tersenyum. “Kalau jawaban saya tolol, pertanyaan tuan lebih tolol. Bagaimana orang bisa menghitung jumlah bintang di langit?”

Hening. Masing-masing orang yang berkerumun di tempat itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kini giliran musafir ketiga yang mengajukan pertanyaan.

“Hmm… nampaknya kamu tahu banyak mengenai kambing-kambingmu itu, nak. Coba jawab pertanyaanku ini. Berapa jumlah bulu yang ada di ekor kambingmu itu?” kata musafir ketiga dengan senyum sinis. Sebenarnya, pertanyaan yang ia simpan selama ini bukan yang baru saja ia lontarkan. Namun, ia hanya ingin mempermalukan anak gembala di depan kerumunan orang.

Anak gembala peniup seruling berpikir sejenak, lalu menjawab, “Saya tahu jumlahnya, tuan. Jumlah bulu yang ada di ekor kambing saya persis sama dengan jumlah rambut di janggut tuan!”

“Oh…, asal menjawab saja. Aku tidak percaya!” kata musafir ketiga.

“Baiklah, sekarang kita hitung bersama-sama. Tuan mencabut selembar bulu ekor kambing saya, kemudian gantian saya yang mencabut sehelai rambut di janggut tuan. Nanti kalau jumlahnya sama, berarti yang saya katakan benar. Namun, jika jumlahnya tidak sama berarti saya keliru. Pripun?” papar anak gembala peniup seruling.

Bisa ditebak kalau musafir ketiga menolak cara yang diajukan oleh anak gembala. Tanpa permisi terlebih dahulu, mereka bertiga segera meninggalkan padang gembalaan.

Bertanyalah secara cerdas.

~oOo~

Malam keempat para cucuku bertanya siapa itu si anak gembala? Apakah ia mempunyai nama? Kenapa ia juga tinggal di Padukuhan Tarub? Untuk mengobati rasa penasaran mereka, akupu mendongengkan kisah Bondan Kejawen.

Matahari baru saja tergelincir. Penduduk di Padukuhan Tarub sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Pun dengan Ki Tarub yang sedang berkebun di belakang rumah ditemani oleh anak semata wayangnya Nawangsih. Gadis berusia dua belas tahun itu memetik sayuran dan meletakkannya pada sebuah bakul.

Ki Tarub menghentikan pekerjaannya. Ia haus. Nawangsih mengulurkan secangkir air kepada ayahnya. Ki Tarub tersenyum. Dalam hatinya ia mensyukuri telah mempunyai anak gadis secantik Nawangsih. Tentu saja cantik, wong asalnya saja keturunan bidadari.

Nyi Tarub – yang tak lain Nawangwulan – berjalan terburu-buru dengan menyingsingkan kain mencari suaminya. Ia mengatakan kalau di rumah ada tamu dari istana Majapahit.

Ki Tarub segera membereskan peralatan berkebunnya dan membersihkan diri di sumur. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan pejabat istana Majapahit yang datang ke rumahnya. Pasti ada sesuatu yang sangat penting.

“Salam Ki. Nama saya Sinom, utusan Prabu Brawijaya. Ini surat dari Kanjeng Prabu untuk Ki Tarub,” kata Adipati Sinom, utusan dari istana Majapahit.

Ki Tarub menerima surat tersebut dan membacanya. Ia menganggukkan kepala tanda mengerti isi surat dari Prabu Brawijaya.

“Mana anakmas Bondan Kejawen?” tanya Ki Tarub kepada Adipati Sinom.

Adipati Sinom memalingkan muka ke arah belakang untuk mencari di mana Bondan Kejawen. Rupanya Bondan Kejawen sedang berada di samping rumah Ki Tarub memberi makan kambing yang dipelihara oleh Ki Tarub. Begitu menerima panggilan dari Adipati Sinom, Bondan Kejawen masuk ke pendapa rumah dan bertemu dengan Ki Tarub.

“Bondan, mulai sekarang kamu tinggal bersama keluargaku. Di sini kamu aman. Anggap saja aku sebagai ayahmu, Nyi Tarub sebagai ibumu, dan Nawangsih sebagai adikmu,” papar Ki Tarub.

Bondan Kejawen menganggukkan kepala takzim. Setelah menyelesaikan urusan serah-terima pengasuhan Bondan Kejawen kepada Ki Tarub, Adipati Sinom berpamitan.

Maka mulai hari itu Bondan Kejawen tinggal bersama Ki Tarub di Pedukuhan Tarub. Anak lelaki berusia lima belas tahun itu termasuk anak yang rajin. Selain diberi tugas untuk membantu Ki Tarub di kebun dan sawah, ia juga bertanggung jawab menggembalakan kambing dan sapi.

Siapa sebenarnya Bondan Kejawen ini? Ia adalah anak Prabu Brawijaya dari seorang selirnya. Kehadiran Bondan Kejawen tidak dikehendaki oleh permaisuri. Waktu masih bayi ia diperintahkan untuk dibunuh, namun ia diselamatkan oleh Adipati Sinom Maruta dan dipeliharanya hingga Bondan Kejawen berumur lima belas tahun. Tanpa sengaja, Prabu Brawijaya mengetahui kalau anak dari selirnya itu masih hidup, ia pun memerintahkan Adipati Sinom menyelamatkan anaknya dengan menitipkan pengasuhannya kepada Ki Tarub. Dalam wangsit yang diterima oleh Prabu Brawijaya, Bondan Kejawen akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Saban hari Bondan Kejawen menggiring kambing dan sapinya ke padang gembalaan Padukuhan Tarub. Ia sangat pandai memainkan seruling. Anak-anak gembala yang lain sangat senang dengan kehadiran Bondan Kejawen yang selalu membantu mereka kalau ada kesulitan yang mereka alami.

Anak-anak gembala lain makin mengagumi Bondan Kejawen setelah dengan cerdas menjawab tiga pertanyaan tiga musafir yang melewati padang gembalaan.

“Bondan, kamu pintar sekali. Tadi kamu bisa menjawab pertanyaan sulit para musafir,” kata Turah, anak gembala yang bertelanjang dada.

“Iya… aku tidak mengira jawabanmu seperti itu. Kalau aku yang ditanya, aku pasti akan menjawab tidak tahu!” tukas Gangsir sambil mengelap ingusnya.

Bondan tersenyum mendengar celotehan teman-temanya, lalu berkata singkat, “Banyaklah membaca!”

~oOo~

“Mama pernah cerita, dulu waktu mama kecil kakek suka mendongeng. Hmm… kini aku merasakan juga dongengan kakek,” kata cucuku yang besar memujiku. Aku mengelus rambutnya.

“Malam ini, gantian kakek mendongengkan Nawangsih, anak Ki Tarub dan Nawangwulan. Begini kisahnya….” ujarku.

Paman petani dan putrinya masih asyik bercengkrama di dalam rumah. Mereka tidak tahu kalau di luar sana telah terjadi pertukaran masuk kandang antara si Kancil dan seekor anjing. Putri paman petani masih merajuk kepada ayahnya, supaya melepaskan si Kancil.

“Kenapa kamu bersikukuh melepaskan binatang itu, Nawangsih?” tanya ayahnya. “Bukankah ia nanti akan merusak kebun ketimun kita lagi?”

“Biarkan kancil itu bermain-main denganku secara bebas di halaman rumah. Atau aku dan kancil itu bisa menyusul kakang Bondan dan bermain kejar-kejaran di padang gembalaan sana!” rajuk putri paman petani yang tak lain Nawangsih itu.

Ki Tarub menggelengkan kepala, namun tetap dengan wajah yang tersungging senyumnya. Demi anak yang yang disayanginya itu, akhirnya luluh juga hatinya.

“Baiklah, ayo kita keluarkan kancil itu dari kandang. Tapi jangan langsung dilepas. Nanti kamu pasang tali di lehernya dan diikat di bawah pohon supaya ia mengenal dulu lingkungan rumah kita,” ujar Ki Tarub, si paman petani itu.

Nawangsih bersorak gembira. Si anjing yang meringkuk di kandang hatinya berbunga-bunga ketika mendengar teriakan bernada riang milik putri paman petani. Benar kata Kancil. Begitu kata hatinya.

Namun betapa terkejutnya Ki Tarub dan Nawangsih ketika menyadari si Kancil tidak ada di kandang. Mereka hanya melihat seeokor anjing yang menyalak riang dari dalam kandang. Nawangsih mendekati kandang untuk meyakinkan matanya kalau ia tidak salah lihat. Perbuatan Nawangsih membuat si anjing besar kepala. Makin keraslah teriakannya, sehingga membuat berisik bagi yang mendengarkannya.

“Huss…. diam kau anjing buruk rupa!” bentak Ki Tarub.

Si anjing bersungut-sungut menundukkan kepala. Takut oleh bentakan Ki Tarub. Ia tidak mengira Ki Tarub membentak calon menantunya.

“Nawangsih, kamu susul kakangmu yang sedang menggembala hewan ternak kita. Mintalah tolong kepadanya untuk mencari ke mana larinya si Kancil!” kata Ki Tarub.

Nawangsih segera berlari untuk menemui Bondan Kejawen.

Si anjing yang menyaksikan adegan itu sangat bersedih. Ia baru menyadari kalau kena tipu si Kancil. Ia pun mendobrak pintu kandang. Ia mengejar si Kancil dengan bekal dendam kesumat.

~oOo~

Malam keenam, cucuku yang kecil minta didongengkan kisah petualangan si Kancil. Di dongengan kemarin aku mengisahkan pelarian si Kancil dari dalam kandang. Hmm… saat itu aku harus mereka-reka alur cerita supaya kancil muncul dalam dongenganku.

“Baiklah, kakek akan mengisahkan persahabatan kancil, kambing dan buaya!” kataku.

Alunan seruling Bondan Kejawen melenakan makhluk hidup yang berada di sekitar padang gembalaan. Siang yang terik dengan angin semilir membuat mata cepat mengantuk apalagi nyanyian seruling Bondan Kejawen masuk ke relung hati bagi yang sedang merindu.

Nawangsih yang telah tiba di padang gembalaan tak langsung mendekati kakak angkatnya itu, namun ia terduduk di bawah pohon yang lain memejamkan mata menghayati nada-nada seruling. Wahai, Sang Pemilik Suara betapa agungnya Engkau yang telah menciptakan bunyi syahdu.

Nun, di ujung jalan di sebelah utara padang gembalaan ada seekor buaya yang sedang merintih karena tubuhnya kejatuhan sebatang pohon lapuk. Lama sekali tak ada makhluk yang melewati jalanan itu, sehingga sekian lama ia tertimpa pohon tak ada yang menolongnya.

Dari arah padang gembalaan terdengar derap kaki seekor kambing yang terpisah dari gerombolannya. Ia terlalu asyik menikmati dedaunan hijau sehingga ia semakin menjauhi kawan-kawannya yang lain yang sedang merumput. Lamat-lamat ia mendengar suara rintihan minta tolong. Ia pun mendekati asal suara.

O, betapa terkejutnya ia ketika dilihatkan seekor buaya tertimpa sebatang pohon. Ia masih ingat pesan ibunya, jangan sekali-sekali mendekati buaya karena ia binatang yang berbahaya. Namun, sebelum ia pergi terdengar panggilan sang buaya.

“Hai, kambing yang baik. Bantulah aku melepaskan diri dari batang pohon ini. Punggungku sakiiitttt sekali. Please…. !” selesai berbicara, buaya itu pingsan.

Si kambing kebingungan. Ia ingat pesan ibunya yang lain untuk membantu sesama, jika mereka mendapatkan kesulitan. Ia mencoba menyeruduk batang pohon itu agar bergeser dan terlepas dari tubuh buaya. Batang pohon tidak bergerak sama sekali. Ia mencoba lagi. Terus mencoba. Keringatnya mulai bercucuran. Sang buaya siuman. Hatinya senang, karena si kambing berusaha melepaskan batang pohon dari punggungnya.

Si kambing istirahat sejenak, dan bilang kepada buaya, “kamu tunggu di sini dulu, aku mau mencari bantuan!”

Kami segera berlari ke arah padang gembalaan. Baru mendapatkan beberapa langkah ia berpapasan dengan dengan Kancil yang juga sedang berlari. Keduanya menghentikan langkah-langkahnya.

“Kamu mesti ikut denganku. Temanku membutuhkan pertolongan kita. Ayo…. lekas ke sana!” ajak si kambing kepada Kancil.

Kedua binatang itu bergotong-royong memindahkan batang pohon. Dengan akalnya, Kancil menggeser sedikit demi sedikit batang pohon itu. Namun, batang pohon terlalu besar baginya. Ia diam, memikirkan sesuatu.

Setelah Bondan Kejawen menyelesaikan satu nyanyiannya, Nawangsih baru berani mendekatinya. Ia langsung mengutarakan maksudnya, minta tolong kepada kakaknya itu untuk mencarikan ke mana kancil yang telah ditangkap Ki Tarub itu pergi.

Karena rasa sayangnya kepada adiknya, Bondan Kejawen beranjak dari tempat duduknya dan menggandeng Nawangsih untuk bersama-sama mencari si Kancil.

“Kakang… itu kancilnya,” kata Nawangsih kepada Bondan Kejawen.

“Sstt.. jangan keras-keras. Nanti binatang itu kaget. Mari pelan-pelan kita tangkap,” kata Bondan Kejawen.

Namun dua kakak beradik itu menghentikan langkah kakinya, ketika dilihatnya Kancil bangkit dari duduknya dan mengambil seutas tali yang tergeletak di pinggir jalan. Mereka mengintip dari balik rerimbunan pohon apa yang dilakukan oleh si Kancil.

Kancil mulai mengikat ujung batang pohon lalu mengajak si kambing bersama-sama menarik tali dari ujung yang lain. Batang pohon bergeser dan tubuh buaya pun terbebas dari himbitan batang pohon. Kancil dan si kambing bersorak gembira.

Bondan Kejawen dan Nawangsih takjub dengan kejadian itu.

“Apakah kita tega menangkap kancil itu, Sih?” tanya Bondan Kejawen pada adiknya.

Nawangsih diam. Cukup lama.

Tanpa mereka sadari si Kancil telah berlari melanjutkan petualangannya. Ke mana? Ke sini.

~oOo~

Pada malam terakhir aku berkunjung ke rumah anakku, para cucu semakin lekat dengan kakeknya. Tak apa. Nanti di liburan akhir tahun mereka berjanji akan mengunjungiku. Untuk mereka aku mendongeng kisah bersatunya hati Bondan Kejawen dan Nawangsih.

Hari itu Nyi Tarub memasak istimewa, pasalnya di rumahnya ada tamu agung yang kedatangannya tanpa diduga. Raja Brawijaya secara inconigto bertandang ke Padukuhan Tarub, tepatnya di rumah Ki Tarub. Ia hanya ditemani oleh Adipati Sinom Maruta dan dua orang prajurit dari pasukan khusus.

“Kakang Tarub, apa kabarmu? Lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Raja Brawijaya kepada Ki Tarub.

“Baik…. pangestu panjenengan, Gusti Prabu. Hmm… ada apa ini kok Gusti Prabu berkenan mengunjungi orang desa seperti saya,” ujar Ki Tarub.

Pendapa rumah Ki Tarub nampak regeng. Nyi Tarub pun segera mengeluarkan minuman dan aneka macam camilan. Raja Brawijaya menyapu ruangan.

“Di mana anakku, kakang?” tanyanya.

“Nyi, tolong panggilkan Bondan!” perintah Ki Tarub kepada istrinya.

Setelah Bondan Kejawen berada di pendapa, rasa rindu Raja Brawijaya kepada anaknya itu tak tertahankan lagi. Ia segera bangkit dari duduknya dan memeluk erat Bondan Kejawen.

“O, Bondan anakku. Kamu sudah besar… gagah seperti Rama he..he…!” kata Raja Brawijaya.

Inggih Rama. Sembah sungkem saya untuk Rama,” jawab Bondan Kejawen.

“Ya..ya… duduklah di sebelah Rama. Aku ingin membicarakan hal yang sangat penting dengan Ki Tarub. Ini menyangkut masa depanmu!” titah Raja Brawijaya.

Semua diam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Raja Majapahit itu.

“Kakang Tarub, kedatanganku kemari hal pertama untuk anjangsana dan mengetahui kabar kalian semua, terutama anakku Bondan Kejawen. Kemudian yang kedua, kalian tahu umur Bondan sudah cukup untuk berumah tangga. Pada kesempatan ini, Kakang Tarub, aku melamar Nawangsih untuk dijodohkan dengan anakku, Bondan. Bagaimana, Kakang Tarub?” titah Raja Brawijaya.

Sendika dhawuh, Gusti Prabu. Saya kira keinginan Gusti Prabu baik untuk semua. Bukan begitu Nawangsih? Bondan?” kata Ki Tarub.

Semua lega. Mereka memutuskan untuk secepatnya menggelar pesta perkawinan Bondan Kejawen dengan Nawangsih.

Sebelum kembali ke istana Majapahit, Raja Brawijaya berbicara empat mata dengan Ki Tarub.

“Kakang, aku merasa Majapahit sekarang dalam masa senjakala. Raden Patah yang didukung oleh para wali sebentar lagi melumat Majapahit dan mereka akan mendirikan kerajaan baru. Untuk itu aku menitipkan Bondan Kejawen kepadamu. Ia yang akan menurunkan dan meneruskan darah Majapahit di tanah Jawa ini!” papar Raja Brawijaya.

Inggih. Sendika dhawuh, Gusti Prabu,” sembah Ki Tarub takzim.

Syahdan, pesta perkawinan Bondan Kejawen dengan Nawangsih pun digelar di Pedukuhan Tarub. Semua penduduk ikut serta dalam pesta tersebut.

Hari ketujuh setelah pesta perkawinan, di dalam kamarnya Nyi Tarub macak diri dengan pakaian bidadari yang belasan tahun lalu disembunyikan oleh Ki Tarub. Kini ia menjelma lagi menjadi bidadari Nawangwulan. Ia segera menemui Ki Tarub.

“Kakang Tarub, kini sudah saatnya. Selesai sudah masa kamanungsan yang aku jalani di bumi Pedukuhan Tarub. Aku pamit untuk kembali ke kahyangan. Jaga baik-baik anak kita Kang. Bye…!” kata Nawangwulan lalu melesat ke angkasa.

Ki Tarub tertegun. Lidahnya kelu. Tak mampu berkata sepatah pun. Laki-laki tidak akan bisa jadi apa-apa tanpa ada wanita hebat yang mendampinginya.

~oOo~

Kedua cucuku terlelap sebelum aku menyelesaikan dongengku.