Dongeng Rama-Sita

Ke mana pun mereka selalu bertiga: Rama, Sita dan Laksmana. Rama, menurt berita yang sudah tersebar luas, adalah seorang putra mahkota sebuah kerajaan yang bernama Ayodhyakarta. Tidak perlu dibayangkan betapa agung kerajaannya, dan juga tidak perlu dipertengkarkan masalah, apakah pasangan ideal itu benar-benar saling mencintai, maksudnya Rama dan Sita itu.

Menurut silsilah kerajaan, Rama adalah titisan Sang Hyang Wisnu, Dewa yang tak tertandingi ketampanan posturnya dan kemurahan hatinya; Sita adalah istrinya, titisan Dewi Laksmi, yang tak mungkin dicari sosok yang sejajar dengannya dalam hal keelokan tubuh dan kesetiaannya. Laksmana, adik tiri putra mahkota, adalah kelengkapan sebuah segitiga sempura. Namun, karena ada kasak-kusuk yang tak senonoh, Rama diusir oleh ayahnya sebab salah seorang istrinya menuntut agar rencana untuk memahkotai Rama digagalkan. Tak perlu dikisahkan masalah itu di sini, tidak begitu penting.

Yang lebih penting: Putra Mahkota itu pun diusir bersama istri dan adik tirinya yang setia menjalani hidup di sebuah hutan yang tentu saja penuh mara bahaya. Tempat seperti itu konon dihuni oleh setan, jin, dan peri – di samping danawa yang suka menyamar sebagai manusia baik-baik kalau ingin melaksanakan maksud busuknya. Mereka bertiga sama sekali tidak khawatir atau apa karena – di samping memiliki keperkasaan dan senjata – para dewa telah membekali ketiganya dengan keikhlasan untuk menyerahkan apa saja yang mereka miliki kalau memang diminta oleh orang yang memerlukannya.

Pada suatu pagi yang cerah, ketika mereka baru saja meninggalkan gubuk yang khusus mereka bangun di hutan, ketika mereka asyik menikmati suasana hutan yang mahatenteram, seorang lelaki bertubuh kokoh dengan raut muka yang meminta dikasihani mendekati Rama, bersujud, dan berkata dengan halus. Kita boleh curiga siapa gerangan lelaki itu, tetapi Rama sama sekali tidak; ia tenang saja. Bahkan ia tetap tenang ketika mendengar apa yang dengan lugas dikatakan oleh orang itu.

“Paduka Sang Putra Mahkota yang tidak tertandingi di dunianya, yan tak terungguli di dunia maya, perkenalkan hamba orang hina dina dari sebuah kerajaan di seberang hutan ini. Adapun maksud hamba menemui Paduka adalah ingin meminta istri Paduka, Dewi Sita, yang mengungguli semua bidadari di surga kecantikannya, untuk saya jadikan istri.”

Laksmana langsung merah mukanya, tentu karena menahan kemarahan yang tak bisa ditera. Ia pandang kakak tirinya dengan wajah penuh pertanyaan, tetapi Rama diam saja. Sita pun diam, menunduk – tidak berani memandang suaminya, apalagi memandang si lelaki asing yang bersujud di hadapan mereka. Ia tampak harap-harap cemas, entah karena apa. Terdengar lagi suara lelaki asing itu.

“Hamba tahu persis, Paduka adalah titisan Sang Hyang Wisnu, yang dengan ikhlas akan menyerahkan apa saja milik Paduka, tidak terkecuali istri Paduka, titisan Laksmi yang juga tentu menerima apa saja nasib yang telah digariskan untuknya. Ia sudah ditakdirkan menjadi istri hamba dan hamba memang bernasib baik.”

Wajah lelaki itu tampak mendadak ganjil, entah karena kehabisan kata-kata, entah karena menahan tawa. Rama tetap diam. Laksmana mulai beraba-raba kerisnya. Sita tampak menggigit bibir – bibirnya sendiri, tentu saja. Lelaki asing itu mulai melanjutkan usahanya. Katanya, “Yang menitis dalam jiwa raga Paduka adalah Dewa yang maha pemurah, yang tetu akan tak berkenan hatinya kalau Paduka tidak memenuhi permintaan hamba, yang pasti akan berang kalau Paduka tidak meluluskan permohonan hamba yang sederhana ini.”

Rama menoleh kepada istrinya, kemudian kepada Laksmana, dan dengan ketenangan yang setinggi langit, yang sejauh cakrawala, yang sedalam lubuk hati para dewa, memandang tajam ke arah istrinya dan bersabda kepada adik tirinya, “Laksmana, Adinda, tolong angkat istriku dan letakkan ke pundak lelaki yang tampaknya mahatahu itu dan biarkan dia segera membawa kabur Sita dari sini.”

Siapa yang bisa membantah sabda semacam itu? Meski tentu saja menyebalkan. Namun, Laksmana cepa-cepat melaksanakan yang ditugaskan untuknya – setelah dengan sigap memasukkan kembali keris ke sarungya. Hampir saja! katanya dalam hati.

“Hai, orang dari seberang hutan, aku berikan istriku dengan ikhlas. Benar katamu, ia titisan Laksmi, dan pasti akan menurut segala apa yang dikehendaki suami. Sekarang bangkitlah kamu, panggul istriku ini di pundakmu sepanjang perjalanan pulang ke negerimu. Hanya satu permintaanku, dengar baik-baik.”

Lelaki asing itu perlahan bangkit dengan Sita di pundaknya, menanti dengan berdebar apa yang akan disyaratkan Putra Mahkota. Angin tidak berdesir ketika itu, tentu saja. Burung-burung juga tidak ada niat bernyanyi, takut kalau suaranya fals menyaksikan adegan mendebarkan itu. Rama bersabda, suaranya wangi bagai mawar hutan.

“Begini. Sepanjang perjalanan kamu tidak boleh menurunkan yang kau panggul itu, jangan sampai istriku – yang sekarang menjadi istrimu itu – menginjak tanah karena hal itu akan menyebabkannya langsung ambles ke bumi. Kau tentu tahu, namanya Sita, artinya galur – selokan yang berair sehabis sawah dibajak. Ia baru boleh kamu turunkan dari gendongan kalau sudah sampai ke negerimu. Paham?”

Sejenak Rama berhenti bersabda, lalu diulangnya pertanyaannya, “Paham?”

“Paham, Paduka! Akan hamba laksanakan sebaik-baiknya, Paduka!” Dan, lelaki asing itu pun cepat-cepat berjalan menjahui dua kesatria tampan yang bergeming, saling berpandangan. Laksmana menatap kakak tirinya dengan pandangan ganjil, lalu memandang lelaki yang memanggul iparnya berjalan semakin jauh. Kali ini, tidak seperti biasanya, ia benar-benar merasa bahwa otak, hati, dan rohnya tumpul setumpul-tumpulnya. Aku harus mulai mengasahnya lagi, bisiknya kepada dirinya sendiri. Nuraniku harus kuasah secara teratur agar tidak kaget lagi menghadapi yang seperti ini. Jiwaku harus kugembleng agar tahan guncangan yang tidak ketemu nalar ini.

Note:
Dongeng Rama-Sita ini tulisan Pak Sapardi Djoko Damonono. Kalau Anda penasaran dengan kelanjutan kisah Sita yang diberikan secara ikhlas oleh Rama kepada Rahwana ini silakan membacanya di buku Pada Suatu Hari Nanti.