Dongeng-dongeng Sapardi

Perempuan pertama yang ditemuinya hampir tertabrak olehnya. Malin gembira telah menemukan ibunya dengan mudah. Ia langsung bersujud di hadapannya, mengucapkan kata-kata yang hanya bisa ditemui dalam dongeng-dongeng yang bisa mengharu biru.

“Ibu, saya anak yang telah mendurhakai Ibu. Saya minta maaf atas dosa yang tak bisa ditakar itu, Ibu.”

Perempuan itu terkejut, memandangnya dengan curiga.

“Aku tidak mengenalmu, Nak. Kamu ini siapa?”

“Saya Malin, Si Anak Durhaka.”

“Lho, Nak, mana ada anak yang durhaka kepada Ibunya!”

Tatapan Malin tampak tambah masak, perempuan itu membayangkan ada air mendidih di mata lelaki muda itu.

“Demi Allah, Nak, aku bukan ibumu. Masuklah ke kerumunan itu, siapa tahu yang kau cari ada di situ.”

Maka, Malin pun masuk ke kerumunan. Ia merasa belum pernah melihat perempuan sebanyak itu di pasar. Anehnya lagi, semuanya, raut mukanya sama saja, yang membedakan hanya pakaian yang mereka kenakan. Ke kiri-kanan diselidikinya, mencari perempuan yang mengenakan pakaian yang kira-kira mirip dengan yang dimiliki ibunya. Baru sekarang ini ia sadar selama ini tidak begitu memperhatikan pakaian ibunya. Bahkan, ia sempat berpikir, mungkin ibunya sejak dulu tidak pernah berganti pakaian karena hanya selembar saja yang dimilikinya. Sejenak dibayangkannya pakaian indah-indah yang dimiliki istrinya, sejenak seperti dihirupnya aroma segar yang memancar dari tubuh perempuan molek yang lagi hamil ketika ditinggalkannya berlayar.

Malin mendekati seorang perempuan yang raut mukanya bening, yang sedang tawar-menawar dengan pedagang ikan asin. Ia menjatuhkan dirinya di hadapannya, menatap matanya, dan berkata dengan warna nada yang biasa dinyanyikan biduan lagu Melayu.

“Ibu, saya anak yang telah mendurhakai Ibu. Saya minta maaf atas dosa yang tak bisa ditakar itu, Ibu.”

“Aku tidak mengenalmu, Nak. Kamu ini siapa?”

“Saya Malin, Si Anak Durhaka.”

“Lho, Nak, mana ada anak yang durhaka kepada Ibunya!”

Tak ada yang lebih bening dari tatapan perempuan itu, bagaikan langit tanpa awan, bagaikan embun pagi yang di pucuk daun bertahan. Tak ada yang lebih masak dari bola mata Malin, seperti asam jawa yang suka rontok di tepi jalan. Tak ada adegan Komidi Stambul yang telah mengharu biru begitu banyak penonton seperti yang sedang berjejal di pasar pagi itu. Tak ada bau sengit udara pasar yang mendadak berhenti sejenak untuk menebarkan suasanya yang tak jelas perangainya.

~oOo~

Kalau membaca dongeng di atas, sepertinya penulis sedang membuat “plesetan” dongeng Malin Kundang yang terkenal itu, sebab akhir dongeng yang sering kita dengar adalah Malin menjadi batu akibat kutukan ibunya. Tulisan di atas saya kutip dari Sebenar-benar Dongeng tentang Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir agar Luput dari Kutukan Sang Ibu bagian 4 karya Sapardi Djoko Damono. Ia memang sedang menulis dongeng carangan “cabang, ranting” yang pada dasarnya merupakan tanggapan atas pakem yang sudah ada. Kata Sapardi, “agar bisa menjadi carangan, saya harus memelintir dongeng-dongeng itu”.

Dongeng-dongeng plintiran itu dikumpulkan dalam buku Pada Suatu Hari Nanti yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka (Juni 2013) setebal 94 halaman yang berisi Dongeng Rama-Sita, Nonton Ketoprak Sampek-Kentaek, Ratapan Anak Tiri, Crenggi, Pada Suatu Hari Nanti, Dongeng Kancil, Hikayat Ken Arok, Sebenar-benar Dongeng tentang Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir agar Luput dari Kutukan Sang Ibu, dan Ditunggu Dogot.

Uniknya, buku Sapardi Djoko Damono ini 2 in 1, terdiri dari dua kumpulan cerita: buku pertama adalah Pada Suatu Hari Nanti, dan buku kedua Wabah Malam, yang berisi dongeng-dongeng yang merupakan tulisan “asli”. Dalam kumpulan cerita ini, orang dan benda yang berkeliaran di sekitar kita dibiarkan berbicara mengungkapkan diri mereka sendiri. Masing-masing memiliki kehidupan sendiri. Wabah Malam terdiri dari cerita Rumah-rumah, Sepasang Sepatu Tua, Ketika Gerimis Jatuh, Membunuh Orang Gila, Daun di Atas Pagar, Bingkisan Lebaran, Jemputan Lebaran, Rel, Suatu Hari di Bulan Desember 2002, Gadis Berjilbab dalam Angkot, Membimbing Anak Buta, Malam Wabah dan Membaca Konsultasi Psikologi, yang dikumpulkan menjadi 88 halaman.