Doa makbul milik siapa?

Dalam sebuah majelis pengajian malam Jumat Pon, setelah memberikan uraiannya Kiai Mukri melontarkan sebuah pertanyaan, “Jadi, sampai dengan tahun ini di kampung kita ada berapa orang yang sudah naik haji?”

Diam sejenak. Para hadirin bibirnya umak-umik, menatap ke langit-langit langgar, ada yang memejamkan mata, ada pula yang menggerakkan jemarinya. Semua menghitung.

“Ada delapan orang, Kiai!”

Nggak dong, tujuh!”

“Menurut perhitunganku, sih, sepuluh orang!”

Kiai Mukri menengahi. Satu demi satu nama orang yang sudah berangkat haji disebut dan dihitung. Ternyata ada sembilan orang. Kemudian, Kiai Mukri kembali melontarkan pertanyaan, “Kalau dihitung seluruh Indonesia, berapa orang Indonesia yang sudah naik haji?”

Kathah sanget, Pak Kiai….”

Semua tertawa. Ya, banyak sekali. Kiai Mukri membuka suara lagi.

“Kuota jamaah haji Indonesia per tahunnya, kira-kira satu per seratus penduduk. Jika penduduk Indonesia sekarang ada kira-kira dua ratus empat puluh juta orang, maka Indonesia mendapat jatah memberangkatkan haji sebanyak dua ratus empat puluh ribu jamaah. Pancen akeh tenan. Itu hitungan setahun. Dalam hitungan kasar, taruhlah dalam sepuluh tahun terakhir jumlah orang yang sudah haji sebanyak sepuluh sampai lima belas persen, ya… kira-kira dua juta lima ratus ribu orang sudah bergelar haji atawa hajjah.”

Niku dereng hitungan calon haji yang katanya ngantri hingga tujuh tahun ke depan, nggih Pak Kiai?”

“Naik haji itu imbalannya surga. Jadi, boleh disebut orang yang sudah naik haji itu ahli surga, bukan?”

Nggih, Pak Kiai!!”

“Doanya ahli surga mestinya diijabah oleh Gusti Allah, bukan?”

Nggih, Pak Kiai!!”

“Doanya seorang muslim itu sifatnya tidak egois. Tidak untuk dirinya sendiri. Dalam doa-doa yang dipanjatkan sehari-hari akan tersebut doa bagi pemimpin, bagi orang tua, bagi suami atawa istrinya, dan lebih luas lagi bagi kaum muslimin dan muslimat. Tentunya, doa-doa para haji dan hajjah yang jumlahnya dua juta lima ratus ribu orang itu menghasilkan sebuah doa yang dahsyat, bukan? Tapi, kenyataannya kondisi negeri ini semakin carut-marut. Tanda-tanda ke arah negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur pun rasanya kok masih jauh.”

Hadirin diam. Mencerna kalimat Kiai Mukri. Tapi tak sedikit yang tak paham ke mana arah pembicaraan Kiai Mukri tersebut.

Ada yang bergumam sendiri, “Haji dan hajjah sebanyak itu… yang mabrur dan mabruroh berapa persen sih…”

Lalu terdengar seseorang berani bertanya, “Syarat menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur pripun Kiai?

“Ada empat hal pokok yaitu ulama yang berilmu,  pemimpin yang adil, orang kaya yang dermawan dan yang terakhir orang fakir yang mau berdoa. Ulama harus berilmu karena ia menjadi tempat bertanya, baik oleh para pemimpin atawa dari para umat. Jadi pemimpin harus adil terhadap yang dipimpinnya. Orang kaya dermawan yang suka bersedekah kepada yang membutuhkan. Masih banyak toh, orang lebih senang pergi haji sementara tetangga dan saudaranya kelaparan? Lalu,  orang fakir berdoa untuk dirinya, untuk ulama, pemimpin dan orang kaya. Empat hal pokok ini saling berhubungan erat satu dengan lainnya. Celakanya, sekarang ini banyak orang fakir yang kurang bahkan tidak mau beribadah, padahal doanya sangat makbul, loh!”

Hening. Namun, ada seseorang menyeletuk.

“Ngomong-ngomong, jumlah orang fakir di Indonesia berlipat kali banyak daripada yang sudah berhaji, kan?”

Apa orang-orang fakir negeri ini sudah malas berdoa?