Disambut Tersangka

Masih soal tersangka. Masih terkait juga dengan istana. Keterkaitannya sih sebenarnya tidak jelas juga. Namun, keterkaitan itu ada. Setidaknya, berdasarkan jepretan kamera pinjaman kantor yang saya bawa, tersangka itu datang lebih dahulu untuk menyambut penghuni Istana yang ingin memperpanjang masa tinggalnya di Istana untuk periode kedua.

Waktunya setahun lalu. Persisnya 21 Juni 2009. Anda masih ingat apa yang terjadi waktu itu? Ya, seluruh energi bangsa dicurahkan untuk mengurusi politik dan pemilu. Tidak heran sebenarnya karena Pak Beye yang menjabat sebagai kepala negara memaknai dan menjalani tahun 2009 sebagai Tahun Politik dan Tahun Pemilu.

Untungnya, masa itu telah berlalu sehingga waktu yang ada dan energi yang dipunya bisa dipakai untuk mengurusi banyak persoalan lainnya. Korupsi misalnya. kenapa korupsi, karena Pak Beye sejak hendak masuk istana pada periode pertama sudah berjanji akan memimpin langsung upaya pemberantasan korupsi. Anda tentu masih ingat janjinya yang membahana. Bahkan, Pak Beye berjanji akan memulai pemberantasan korupsi dari halaman Istana. Apa hasilnya? Anda tentu bisa menilai sendiri seperti apa.

Kembali ke soal korupsi yang menjerat bangsa ini. Sebenarnya kata korupsi tidak pas dan kurang kena bagi saya. Lebih pas dan kena kalau dipakai kata maling. Tapi sudahlah, cap maling kan hanya pantas dilekatkan kepada rakyat jelata yang ingin mempertahankan hidupnya dengan mencuri. Para pejabat yang sejatinya maling juga karena merasa tidak penuh-penuh perutnya lebih pas jika disebut korupsi.

Untuk soal korupsi ini, saya terperangah saat mendapati berita bahwa Gubernur Sumatera Utara Pak Syamsul Arifin ditetapkan sebagai tersangka. Keterperangahan saya bukan terutama karena status tersangka itu, tetapi lebih karena waktu penetapan statusnya. Saat status tersangka itu dilekatkan, Pak Syamsul sedang asyik rapat berhari-hari bersama Pak Beye. Tempatnya di Istana Tampak Siring, Bali.

Oleh KPK, Pak Syamsul ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana APBD Kabupaten Langkat periode 2000-2007. Nilai kerugian negara yang disangkakan KPK sebesar Rp 102,7 miliar. Meskipun menurut Pak Syamsul sebagian uang, yaitu Rp 67 miliar, sudah dikembalikan ke kas negara, kasus ini terus dilanjutkan oleh KPK.

Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, Pak Syamsul tidak kehilangan muka. Itu terlihat sesaat setelah pesawat yang membawa saya dan seli tercinta mendarat di Bandara Polonia Medan. Sambil mengayuh seli menuju Kantor Biro Kompas Medan, saya seperti disambut Pak Syamsul yang tersenyum dengan peci hitam dan pakaian kuning menyala-nyala.

Senyum Pak Syamsul itu terpampang di halaman Kantor DPD Golkar Sumatera Utara. Tempatnya tidak jauh dari Kantor Kompas Biro Medan. Masih dalam satu jalan. Senyum Pak Syamsul mirip dengan senyum Pak Gandung Pardiman di halaman Kkantor DPD Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga dekat dengan kantor saya. Bedanya, Pak Syamsul tidak memakai kacamata hitam dan tampil percaya diri tanpa didampingi Pak Ical, bos besarnya di partai paling kuning.

Meskipun menjadi pimpinan daerah di partai paling kuning, Pak Syamsul tampaknya tahu bagaimana menyambut tamu istimewanya, yaitu Pak Beye didampingi Bu Ani dan Mas Ibas yang sedang mencari suara. Untuk tamu istimewanya, Pak Syamsul memilih memakai pakaian warna biru muda. Tidak hanya Pak Syamsul, ajudannya pun memakai warna senada.

Saya tidak tahu mengapa. Sekadar menduga saja, mungkin Pak Syamsul ingin menyatakan dukungannya kepada Pak Beye tanpa harus bersuara. Anda pasti tahu apa akibatnya jika Pak Syamsul bersuara menyatakan dukungannya. Selain akan dinilai melanggar netralitas pejabat negara, Pak Syamsul tentu tidak ingin menyakiti hati Pak Kalla yang maju juga memakai bus kuning, namun telah kosong penumpangnya.

Selain itu, mengenakan pakaian biru seperti warna partai penguasa bisa menjadi penyelamat juga. Kalau tidak percaya, tengok saja politisi biru yang terjerat kasus korupsi. Ada atau tidak? Kalau memang ada, Pak Beye memang tengah melaksanakan janjinya untuk memimpin langsung pemberantasan korupsi mulai dari halaman Istana. Kalau tidak ada, harap dimaklumi juga. Mungkin soal waktu saja.

Lagi pula, siapa rela memotong kaki dan tangan atau kaki-tangannya yang telah membiru semua?

Korupsi memang harus diberantas. Tetapi tetap harus pilih-pilih juga. Kalau tidak pilih-pilih, penjara dengan fasilitas hotel bintang lima belum siap menampung mereka semua.

3 Juli 2010

~0O0~

Tulisan di atas bukan rangkaian artikel yang dibocorkan Wikileaks dan dimuat di media Australia beberapa hari yang laluyang membuat gerah Pak Beye. Sama sekali bukan. Artikel di atas saya kutip dari buku Pak Beye dan Keluarganya halaman 290 – 292 dengan judul yang sama. Buku ini merupakan seri terakhir Tetralogi Sisi Lain SBY yang ditulis oleh Wisnu Nugroho, wartawan Kompas yang bertugas di Istana. Buku setebal xx + 308 halaman ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (Januari 2011). Dibandingkan tiga buku pendahulunya, nuansa poliktik di buku Pak Beye dan Keluarganya terasa lebih cair. Ada kegiatan politik keluarga yng disinggung ketika Edhie Baskoro Yudhoyono (EBY) berkampanye bagi pemenangan dirinya sebagai calon anggota legislatif. Selebihnya, buku ini bercerita mengenai kiprah keluarga dan hal-hal kecil mengenai hobi serta kesukaan SBY sebagai kepala keluarga seperti SBY suka main gitar dan menciptakan lagu, Presiden yang senang membaca dan membeli buku, sampai Presiden yang tetap punya hasrat untuk pulang kampung ke Pacitan pada saat-saat tertentu, terekam dengan baik di buku ini.