Dialog Kunti dengan Karna

Kunti bagai disambar geledek ketika Kresna mengabarkan kalau senapati Kurawa dalam peperangan Bharatayuda esok hari adalah Karna, anaknya sendiri. Selama ini rahasia kalau Karna anak Kunti disembunyikan rapat-rapat oleh Kresna. Bahkan tak ada yang tahu, kalau mereka adalah ibu-anak, meskipun ketika masih tinggal di Hastinapura Kunti sering bertemu dengan Karna.

Seperti orang lain, Kunti mengenal Karna sebagai anak seorang kusir kereta yang bernama Adirata. Karna bisa masuk Klan Kurawa karena kebaikan hati Duryodana mengangkat derajat Karna dengan memberikan sebuah kerajaan bawahan Hastinapura yang bernama Awangga. Kunti pun mengetahui kalau Karna dan Arjuna melakukan perang dingin setelah beberapa kesempatan keduanya bertemu dalam pertempuran kecil.

Kunti bersikeras ingin bertemu Karna, namun Kresna melarangnya. Kresna mengatakan bahwa sudah menjadi takdir Karna ikut Kurawa dan berperang melawan saudara kandungnya sendiri yang bergabung dalam Klan Pandawa. Kunti ingin mengubah takdir tersebut. Ia bertekad bertemu Karna.

~oOo~

Bau amis mayat di Padang Kurusetra tempat berlangsungnya peperangan Wangsa Bharata menyeruak di setiap sudut, bahkan Kunti mengabaikan bau itu dengan tetap berjalan menuju perkemahan Karna. Sebagai seorang ibu, ia sangat merindukan anak lelakinya itu yang ia lahirkan ketika ia masih gadis belia ketika ia mencoba merapal mantra yang diberikan oleh Resi Durwasa.

Kunti berjalan sendiri. Ia ingin bertemu Karna sendirian. Secara pribadi, ibu dan anak. Pandawa tak tahu urusan apa ibunya menemui Karna. Kunti memang berpesan kepada Kresna agar ia merahasiakan hubungan Kunti dengan Karna, bahkan kepada para Pandawa sekali pun. Sebagai tanda bakti anak kepada ibunya, para Pandawa bersembah takzim ketika Kunti melarang mereka menemani menemui Karna di perkemahannya.

~oOo~

Ketika sampai di perkemahan Karna, Kunti mengucapkan salam. Karna dan Surtikanthi terkejut mendapati Kunti yang datang sendirian ke perkemahannya.

“Ada ada malam-malam seperti ini bibi Kunti datang ke sini?”

Kunti tak segera menjawab. Ia pandangi putra sulungnya yang gagah dan tampan itu. Ingin rasanya ia memeluk tubuh kekar Karna. Ia tepiskan keinginan itu.

“Karna, bisakah kita berbicara empat mata saja. Maaf, Surtikanthi…. aku ingin berbicara berdua dengan suamimu.”

Kunti mengatakan itu dengan tersenyum agar Surtikanthi tidak tersinggung. Surtikanthi mohon diri. Dalam hatinya ia bertanya-tanya ada gerangan apa ibu Pandawa itu datang menemui suaminya.

“Silakan duduk bibi. Tak baik kita bicara sambil berdiri seperti ini.”

“O, Karna…..!”

Kunti tak bisa menahan diri lagi. Ia peluk erat anaknya itu dengan penuh kasih. Air matanya terurai membasahi dada bidang Karna. Sejenak ia membiarkan perempuan tua itu menumpahkan tangisnya. Setelah reda ia renggangkan pelukan Kunti dan membimbingnya duduk.

“Bibi Kunti, ada apa ini….”

“Karna anakku, baru saja Kresna mengabarkan sebuah berita tentang hubungan kita. Kamu adalah anakku… yang beberapa tahun yang lalu, kamu yang masih bayi merah aku larung ke sungai… bukan karena aku membencimu nak, tetapi untuk menyelamatkan dirimu. Semua yang aku lakukan atas petunjuk para dewata.”

Kunti sesenggukkan menceritakan semua itu. Karna terkesiap, tak menyangka perempuan yang selama ini dipanggilnya bibi itu ternyata ibu kandungnya sendiri. Mimpikah aku bertemu dengan ibuku?

Karna tak tahu harus bertindak bagaimana dalam situasi seperti itu. Menolak atawa harus bersyukur telah bertemu dengan ibu kandungnya? Tak mungkin Kresna membawa berita bohong, pasti ia membawa kabar kebenaran.

“Suryatmojo…. apakah kamu tidak percaya kalau aku ibu kandungmu, nak?”

“Bukan begitu bibi…. eh… ibu…. Kabar yang engkau bawa ini sungguh mengejutkan diriku karena yang aku tahu aku adalah anak bapak Adirata seorang kusir kereta.”

Lalu Kunti pun menceritakan prosesi kelahiran Karna hingga ia terpaksa melarungkannya ke sungai dengan harapan ditemukan oleh seseorang dan dipeliharanya. Karna menyimak cerita itu bahkan tak berani menyela perkataan Kunti. Ia menghela nafas panjang. Ia membayangkan masa kecil hingga remaja di bawah asuhan Adirata.

“Jadi para Pandawa itu adik-adikku?”

“Iya Karna. Mereka adik-adikmu. Yudhistira, Bima dan Arjuna bahkan adik kandungmu.”

Perasaan Kunti mulai tenang. Justru perasaan Karna yang mulai bergolak. Betapa tidak, ia masih ingat benar ketika ia menang bertempur melawan Arjuna namun dilecehkan oleh Durna karena ia bukan keluarga bangsawan. Ia yang dicurangi oleh Kresna ketika ia ikut sayembara memperebutkan Drupadi dulu. Ia mestinya yang berhasil mengangkat busur raksasa dan membidik tepat di tengah cakra yang tengah berputar.

Tapi salah Kunti apa? Apakah Kunti bersalah telah menyia-nyiakan dirinya dengan membuang bayi yang tidak dikehendaki kelahirannya? Lalu, untuk apa Kunti datang kepadanya dan mengabarkan kalau ia anak kandungnya? Bukankah kalau Kunti tidak sayang kepadanya, ia tak akan datang menemuinya?

Karna galau.

Kunti bisa membaca galau hati anak kandungnya itu. Namun ia memberikan kesempatan kepada Karna untuk menenangkan pergulatan di hatinya. Tanpa diduga oleh Kunti, Karna beranjak dari tempat duduknya dan menghaturkan sembah-sungkem keharibaannya.

“Ibu, terimalah sembah-sungkem putra sulungmu ini!”

Karna terisak. Pun dengan Kunti. Ia mengangguk sambil mengelus kepala Karna. Tak ada kata yang terucap. Ia angkat kepala Karna, ia mencium kening dan kedua pipi Karna. Keduanya berurai air mata.

Hening. Bahkan seekor cicak membatalkan niatnya menangkap seekor nyamuk, takut mengganggu suasana hati ibu-anak yang sedang melepas rindu itu.

“Anakku, aku dengar besok kamu akan menjadi senopati Kurawa dalam peperangan Bharatayuda.”

“Benar ibu. Anakmu mohon doa restu mudah-mudahan dapat mengemban tugas mulia tersebut.”

Kunti bingung. Karna minta doa restunya untuk memerangi saudaranya sendiri.

“Wahai Basukarna anakku. Mumpung belum terlambat, nak. Ikutlah bergabung bersama saudara-saudaramu Pandawa. Jadilah senopati Pandawa yang gagah berani untuk mengalahkan Kurawa. Ibu akan bahagia jika semua anak ibu bersatu. Bagaimana, ngger?”

“Ibu, bukan aku menolak permintaan ibu ini. Anakmu telah terikat sumpah setia kepada Duryodana. Pantang bagi anakmu untuk ingkar terhadap janji setianya itu. Ibu tahu bukan, Duryodanalah yang selama ini mengangkat derajatku. Ia telah memberikan kehormatan bagiku. Aku tak mungkin bisa memungkiri kenyataan ini, ibu.”

“Kamu tidak sayang kepada ibu dan saudara-saudaramu?”

“Bukan. Bukan begitu ibu. Setelah aku tahu kalau ibu adalah ibu kandungku, dalam hatiku langsung tumbuh cinta kasih anak kepada orang tua. Ibu jangan ragukan itu. Pun dengan adik-adikku. Tetapi aku seorang ksatria yang pantang berkhianat. Ini sudah menjadi takdirku ibu. Percayalah. Dewata yang agung pasti akan memenangkan Pandawa, tanpa aku ada di pihak Pandawa.”

“Ibu bangga padamu, Karna. Tetapi kenapa kamu begitu yakin Pandawa akan menang? Oh iya, di mana anting-antingmu nak? Itu pemberian ayahmu, Bathara Surya.”

Karna tersenyum.

“Itulah ibu yang membuat aku yakin Pandawa akan menang. Memang sudah menjadi kehendak dewata. Anting-anting Pucunggul Maniking Surya itu sudah terlepas dari telingaku. Lalu, senjata sakti andalanku yang lain berupa rompi yang disebut sebagai Kawaca itu pun sudah tertanggal dari badanku.”

Karna lalu menceritakan kisah hilangnya anting-anting Pucunggul Maniking Surya dan rompi Kawaca, tak lepas dari takdir yang ditetapkan oleh dewata. Kedua senjata saktinya itu telah ia serahkan kepada Kresna. Ia juga menceritakan kutukan brahmana Parasurama dan brahmana pemilik sapi kepadanya. Kelak ia akan kalah perang.

Kunti menangis sambil mengusap pipi Karna. Ibu dan anak itu kembali berpelukan.

“Ibu bangga padamu, Karna.”

“Keluarga besar kita kelak akan bertemu di swargaloka, ibu.”

Kunti pamitan untuk kembali ke perkemahan Pandawa. Karna melepas kepergian Kunti dengan perasaan lega. Ia telah bertemu dengan ibu kandungnya dan telah memohon restunya untuk menjadi senopati perang esok hari.