Hari Kamis s/d Minggu saya berada di Solo tersebab ada sedikit urusan yang mesti diselesaikan. Mumpung Jumat-nya kejepit saya ambil cuti. Selama di Solo, mobilitas saya ditunjang oleh moda transportasi taksi. Untung saja di Solo sangat mudah mendapatkan taksi yang semuanya menggunakan argo.
Dari Bandara Solo saya mendapatkan sopir taksi yang ramah, sekali saya tanya sesuatu hal jawabannya panjang nian, setengah curhat. Lah, curhat masalah apa? Ia – sopir taksi itu, membandingkan Kota Solo saat ada Pak Jokowi dan ketika ditinggal Pak Jokowi ke Jakarta. “Benten sanget (beda sekali), Pak!” ujar sopir taksi. Ada yang hilang. Ia juga membandingkan kondisi negara. Katanya, “Sekeco jamanipun (enak di jaman) Pak Harto.” Ia lalu bercerita kalau di Solo banyak dijual stiker Pak Harto mesem sambil berucap: “Piye kabare le, isih enak jamanku to?“
Di lain kesempatan, saya diantar sopir taksi yang nada curhatannya mirip sopir taksi pertama. Sopir taksi yang ini malah lebih telak dalam mengomentari korupsi yang marak terjadi, pembangunan jalan yang asal-asalan, sampai praktik politik uang dalam Pilkada/Pileg. Saya memancingnya dengan pertanyaan seputar Pilgub Jateng yang sebentar lagi digelar. “Apa di Solo ada yang milih Pak Bibit ya?” tanya saya. Sekedar mengingatkan, Pak Bibit – petahana Gubernur Jateng, pernah berkonflik dengan Pak Jokowi dan masyarakat Solo melakukan unras mendukung walikotanya. Jawaban sopir taksi membuat saya tersenyum, “Calon Gubernur yang saya kenal cuma Pak Bibit. Dulu Pak Bibit kan jaognya PDIP kan? Lah, Pak Ganjar Pranowo niku tiyang pundi kok PDIP mboten masang Bu Rustriningsih, nggih (Pak Ganjar Pranowo itu orang mana kok PDIP tidak pilih Bu Rustriningsih ya)? Sepertinya saya akan golput, mending waktunya buat nyari uang,” ujarnya. Sepanjang jalan memang penuh dengan baliho dan spanduk Cagub/Cawagub Jateng 2013-2018.
Salah satu urusan saya adalah njagong manten, menghadiri resepsi pernikahan. Format resepsi asli Solo. Hampir dua puluh tahun saya nggak menghadiri resepsi model seperti itu, maklum saja wong saya tinggal di daerah yang budayanya beda sama sekali.
Begini. Para tamu berdatangan disambut oleh among tamu pria dan wanita yang berkebaya dan dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan. Setiap 10 kursi ada 1 meja yang sudah tersedia 10 gelas teh ginastel. Tak lama, semua kursi telah terisi oleh tamu. Pembawa acara (dalam bahasa Jawa paling halus) memimpin upacara temu pengantin. Hidangan pertama keluar, berupa snack. Tamu duduk manis, ada yang ngladeni atawa melayani. Setelah semua tamu mendapatkan snack dan menikmatinya, kemudian keluar hidangan berikutnya: sop manten. Masakan sop yang volume kuahnya paling banyak cuma sepuluh sendok makan itu enaknya tiada terkira. Maknyuss, kata Pak Bondan.
Rangkaian acara terus berlangsung. Kali ini ular-ular pengantin atawa nasihat perkawinan yang disampaikan oleh Pak Ustadz lagi-lagi menggunakan bahasa Jawa halus. Pak Ustadz ceramah, makanan inti disajikan kepada para tamu: nasi (volume kira-kira 5 atawa 6 sendok) tetapi aneka lauknya mengelilingi nasi tersebut. Mantab sekali, bukan? Nasi tandas, tak lama kemudian keluar sajian penutup, es krim plus buah. Acara ular-ular pun selesai sudah.
Pengantin diarak ke arah pintu masuk, berdiri di sana untuk memberi kesempatan para tamu bersalaman sekaligus pamitan pulang. Saya hitung waktu, seluruh acara mantenan berlangsung sekitar satu jam saja.
Nekjika berada di Solo, pasti saya sisihkan waktu untuk berburu buku. Kali ini saya mendapatkan novel terbaru Pak Langit Kresna Hariadi: Menak Jinggo. Novel setebal bantal itu menemani saya di sela waktu luang ketika berada di Solo.
Jam 8 pagi tadi saya sudah berada di Jakarta lagi.