Tetirah singkat ke Banyuwangi tempo hari, betul-betul saya manfaatkan untuk mengendus jejak Menak Jinggo (ada yang menyebutnya Minak Jinggo) yang pernah bertahta di Kerajaan Blambangan itu. Kisah Menak Jinggo yang saya pahami sejak kecil adalah berdasarkan cerita-cerita versi ketoprak, di mana Menak Jinggo digambarkan sebagai lelaki jahat bersuara bindeng punya senjata andalan Gada Wesi Kuning. Ia juga mempunyai abdi kinasih yang bernama Dayun. Meskipun buruk rupa, Menak Jinggo mempunyai dua istri yang cantik, namanya Wahito dan Puyengan.
Menak Jinggo merupakan musuh Majapahit yang saat itu diperintah oleh Ratu Kencanawungu, seorang raja perempuan. Karena kesaktian Menak Jinggo, Majapahit kewalahan melawannya. Akhirnya, Ratu Kencanawungu membikin sayembara siapa yang bisa mengalahkan Menak Jinggo, akan dijadikan suaminya. Adalah Damarwulan yang dapat menaklukkan Menak Jinggo dengan cara mencuri Gada Wesi Kuning yang dibantu oleh Wahito dan Puyengan. Saya pernah mendongengkan kisah ini di Damarwulan Bejo.
Maka, ketika Pak Langit Kresna Hariadi (LKH) menuliskan novel Perang Paregreg 1 & 2 (belakangan dicetak ulang, dua buku tersebut dijadikan satu dan diberi judul Menak Jinggo) gambaran saya mengenai sosok Menak Jinggo berubah total. Ia bukan lagi lelaki buruk rupa dan berwatak jahat. Ia sesungguhnya anak Prabu Hayam Wuruk dari istri selir dan disematkan nama yang keren: Bhre Wirabumi. LKH menggambarkan Menak Jinggo sebagai ksatria yang rendah hati. Dalam novel Menak Jinggo, LKH masih berkutat kepada kegamangan Hayam Wuruk ingin mewariskan tahta kepada anak perempuan dari permaisurinya, Kusumawardani atau kepada anak lelaki tetapi dari selirnya, Bhre Wirabumi.
Saya diajak oleh adik saya mengunjungi Situs Umpak Songo, tak jauh dari rumahnya. Di sana ada peninggalan Kerajaan Blambangan yang berupa umpak (sebuah batu yang berfungsi sebagai pondasi setempat, untuk menegakkan tiang kayu) yang berjumlah sembilan. Umpak Songo ini diyakini sebagai bekas pondasi Balai Pertemuan Raja Blambangan.
Menurut keterangan juru kunci, pada tahun 1916 kakeknya (mBah Nadi Gede) yang berasal dari Bantul DIY mbabat alas dan menemukan gundukan tanah dan setelah dibersihkan ternyata terdapat banyak umpak. Pada tahun 1938, lokasi ini dikunjungi oleh Raja Keraton Surakarta (Mangkubumi XI?) dan sejak saat itu dinamai Umpak Songo. Berdasarkan penjelasan Mangkubumi, Umpak Songo adalah bekas peninggalan Kerajaan Blambangan dengan rajanya yang bernama Minak Jinggo.
Masih menurut juru kunci, Situs Umpak Songo akan mencapai puncak keramaiannya pada Hari Raya Kuningan. Umat Hindu akan melakukan sembahyang di tempat ini. Saya juga melihat bekas bakaran dupa, dan ketika saya tanyakan kepada juru kunci diperoleh jawaban bahwa ada beberapa kalangan yang sengaja bertapa di sini untuk mendapatkan wangsit.
Sayangnya, tidak ada prasasti yang menguatkan kalau Umpak Songo ini ada kaitannya dengan Kerajaan Blambangan. Kisah Menak Jinggo memang seperti dongeng saja. Atau bisa jadi ada manuskrip tentang Blambangan ini tersimpan di sebuah museum di Belanda sana?
Saya juga mengunjungi Pelabuhan Muncar. Sejauh mata memandang kita akan menyaksikan aneka perahu dan kapal berwarna-warni yang dihiasi oleh ornamen-ornamen indah, seperti berbentuk kubah masjid atau macam-macam bingkai foto bergambar perempuan cantik, anak kecil yang imut atau gambar-gambar Walisongo.
Kalau menyaksikan keramaiannya, bisa jadi pelabuhan ini pada zaman dahulu menjadi pelabuhan utama Kerajaan Blambangan. Dari tempat ini kita dapat menyaksikan Tanjung Sembulungan yang elok.