Prabu Destarasta gamang hati. Ia merasa sudah capek menjadi raja Hastinapura. Kebutaan matanya menjadi hambatan dalam memimpin negara selama ini, apalagi Gandari – permaisuri yang sangat dicintainya itu, ikut-ikutan membutakan mata dengan cara menutupinya dengan secarik kain. Semua keputusan yang ia ambil selalu minta pertimbangan orang-orang terdekatnya, seperti Resi Bhisma, perdana menteri Widura dan tentu saja, Gandari.
Kali ini ia betul-betul pusing memikirkan siapa yang akan menggantikannya menjadi raja Hastinapura. Dalam hati kecilnya, tahta ingin ia serahkan kepada Yudhistira, anak sulung Pandu dan Kunti. Destarasta merasa tahta yang ia duduki selama ini hanya titipan belaka, sekarang saatnya dikembalikan kepada Pandu. Karena Pandu telah tiada maka yang berhak atas tahta adalah anak keturunan Pandu.
Gandari berang betul mendengar pertimbangan suaminya yang akan mengembalikan tahta kepada anak Kunti. Ia telah lama menggadang-gadang Duryodana untuk meneruskan tahta Destarasta. Secara khusus ia telah meminta kepada adiknya – siapa lagi kalau bukan Patih Sengkuni – untuk membimbing dan mempersiapkan Duryodana menjadi raja Hastinapura. Nekjika, Destarasta tetap bersikukuh akan menunjuk Yudhistira, Gandari mengancam akan melakukan makar dengan melibatkan keseratus anak-anaknya.
“Mas Desta, ancamanku bukan gertak sambal. Aku bisa perintahkan Sengkuni untuk menggerakkan berkompi-kompi prajurit untuk mendongkel tahta Yudhistira. Apa Mas Desta sudah lupa, bukankah Pandu dan Kunti serta kelima anak mereka sengaja meninggalkan istana dan tak mau mengurus Hastinapura?” ujar Gandari.
Prabu Destarasta mengerjapkan matanya yang buta itu, lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia hanya mondar-mandir di depan Gandari.
“Kita sudah berbaik hati menampung mereka kembali di istana ini. Kebaikan kita sudah lebih dari cukup. Seharusnya, Kunti dan kelima anaknya itu tetap hidup di kampung di lereng gunung, tak usah kembali ke istana!” kata Gandari dengan nada kesal.
“Tak pantas Yudhistira menjadi raja, mBakyu!” sergah Sengkuni yang tiba-tiba datang ke hadapan Gandari.
Ibu para Kurawa itu seolah mendapat angin.
“Yudhis itu cah ndeso. Prejengane wagu. Kuru, pisan. Ia juga ndak punya wawasan tentang kekuasaan level kerajaan. Tahunya tataran tingkat kampung belaka. Jadi, Prabu Destarasta harus mengangkat Duryodana menjadi raja,” tutur Sengkuni.
“Kalau aku mengangkat Duryodana menjadi penggantiku, apa kamu yakin rakyat Hastinapura tidak menolaknya?” tanya Destarasta.
“Menolak bagaimana, Prabu?” Sengkuni balik bertanya.
“Track record Duryodana buruk sekali, bukan? Meskipun mataku buta tetapi aku tahu sepak terjang Duryodana di luar istana. Bersama pasukan Kurawa, ia pernah bikin onar pasar. Ia mengobrak-abrik pasar dan membakarnya. Dan tentu rakyat masih ingat ketika Duryodana menculik Bima dan menenggelamkan ke dasar sungai. Penggiat HAM Hastinapura akan menolak kepemimpinan anak sulungku itu!” kata Destarasta dengan menahan emosinya kemudian meninggalkan Sengkuni dan Gandari.
Destarasta bermaksud minta pertimbangan Resi Bhisma.
Sengkuni berjanji kepada Gandari untuk mendudukkan Duryodana menjadi raja Hastinapura.