Jejaka yang ditemui di pinggir telaga kemarin datang kepadanya dan mengatakan kalau ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Dayang Sumbi memainkan ujung kainnya tak segera menyambar panah asmara yang telah dilepaskan jejaka di depannya itu.
“Namaku pun kau tidak tahu, kenapa kau begitu sembrono menyatakan cinta kepadaku?”
“Duhai wanita cantik, sejak pertemuan kemarin aku tak bisa memejamkan mata barang sejenak. Tak lepas fikiranku membayangkan wajahmu.”
“Kalau kau tahu nama wanita yang kau sukai, lamunanmu akan semakin sempurna dengan selalu menyebut namanya.”
“Baiklah. Kalau begitu mari kita berkenalan. Namaku Sangkuriang. Engkau sendiri siapa?”
“Dayang Sumbi.”
Sia-sia Sangkuriang menunggu kata cinta keluar dari bibir Dayang Sumbi. Ia pun segera pamit dan berjanji esok hari akan datang kembali. Malam semakin pekat. Dayang Sumbi membaringkan tubuhnya di peraduan, tetapi ia tiada bisa memejamkan mata.
“Sangkuriang. Tatapan matanya itu… sepertinya aku sangat mengenalnya. Mungkinkah ia anakku yang hilang belasan tahun lalu?”
Sementara di rumahnya, Sangkuriang tak kalah gelisahnya. Rasa gelisah karena cinta dan rindu.
“Dayang Sumbi… Dayang Sumbi. Nama yang indah. Seelok parasnya. Seandainya ia menjadi istriku, makin sempurnalah hidupku ini.”
Seminggu berlalu, dan selama itu pula Dayang Sumbi menghindari pertemuan dengan Sangkuriang. Semakin ditolak, semakin nekat saja Sangkuriang untuk mendapatkan cinta Dayang Sumbi.
“Tidak, Sangkuriang. Tidak mungkin aku menjadi istrimu. Aku ibumu. Wanita yang mengandungmu dulu!”
“Ah… mana mungkin. Ibuku pasti sudah keriput, sementara dirimu masih seumuran denganku. Inikah caramu menolak cintaku, Dayang Sumbi? Pada awal perjumpaan kita, kau pun sudah jatuh cinta bukan?”
Diam. Sepi. Terdengar isak tangis Dayang Sumbi meratap kepada Sang Pemilik Hidup dan memohon petunjuk untuk mengurai persoalan yang tengah dihadapinya. Sungguh, Sang Pemberi Petunjuk memang baik hati. Tiba-tiba datang angin puting beliung yang menerjang tubuh Sangkuriang hingga ia jatuh terjengkang, lalu menabrak pohon dan pingsan.
Kesempatan ini dipergunakan Dayang Sumbi untuk membuktikan apakah Sangkuriang ini benar-benar anaknya atau bukan. Ia ingat tanda lahir anak lelakinya itu.
Pelan-pelan ia dekati tubuh Sangkuriang yang tergeletak di bawah pohon. Ia menyibakkan baju Sangkuriang dan betapa kagetnya ia ketika didapatinya tanda lahir anaknya.
“Oh… benar. Ia anak lelakiku yang hilang dulu. Udelnya bodong!”
Menghadapi kenyataan itu, Dayang Sumbi berlari ke mana kaki melangkah. Disertai tangisan, tentu saja.
Ia kelelahan ketika tiba di tepi telaga, tempat di mana ia pertama kali berjumpa dengan Sangkuriang. Ia bersimpuh dan takzim kepada Sang Pengatur Waktu. Tetapi, betapa terkejutnya ia ketika Sangkuriang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.
“Bagaimana Dayang Sumbi? Apakah aku harus memaksamu untuk menjadi istriku? Ataa kamu minta syarat tertentu dariku? Katakan, aku akan mengabulkan semua permintaanmu!”
“Baiklah kalau kau memaksaku, Sangkuriang. Aku menginginkan kau membangunkan untukku seribu candi dalam waktu semalam dengan batas waktu datangnya fajar. Kalau kau gagal mewujudkan seribu candi untukku, kau gagal pula mempersuntingku!”
Sangkuriang melongo mendengar permintaan wanita yang dipujanya itu.
Dayang Sumbi berlalu meninggalkannya, tanpa berkata apa pun. Sementara itu Sangkuriang menggaruk udel bodongnya, kebingungan dengan permintaan aneh Dayang Sumbi.
“Seharusnya ia minta dibuatkan perahu dalam semalam,” gumamnya.
Sangkuriang terdiam, membayangkan bagaimana ia akan membangun seribu candi dalam semalam. Mustahil. Tetapi apa benar Dayang Sumbi itu ibuku?