Dunia WayangSlenco bakal kacau balau, pasalnya Ki Dalang yang akan melakonkan para wayang raib entah ke mana. Pementasan wayang sudah siap seratus persen: kelir putih yang masih baru terlihat makin kinclong dengan sorot blencong ratusan watt, para nayaga dan waranggana sudah di tempatnya masing-masing gelisah kapan mereka memulai memainkan musik pengiring pementasan, tak kalah gelisahnya adalah asisten dalang yang telah duduk manis di dekat kotak wayang.
Para penonton yang menyesaki sekitar lokasi pementasan berusaha menahan sabar menunggu hadirnya Ki Dalang favorit mereka. Waktu sudah betul-betul menabrak malam. Seharusnya, pada jam seperti ini lakon Limbuk-Cangik sudah dipentaskan Ki Dalang. Tapi, ke mana Ki Dalang sekarang ini?
Tiada terduga oleh siapa pun, lampu blencong tiba-tiba padam lalu menyala lebih terang kemudian gelap gulita lagi dan byar… lampu kelap-kelip aneka warna muncul di layar putih. Dua gunungan yang tertancap di tengah layar, terbang tercerabut. Asap putih disertai bunyi ledakan menyentak semua orang. Mereka segera ambil langkah seribu menjauhi tempat pementasan wayang.
Kotak wayang terbuka dengan sendirinya. Para tokoh wayang berhamburan keluar dan mereka menancap di tempat yang mereka mau.
“Tanpa dalang kita pun bisa main!” kata Buto Rambutgeni menggelegar. Raksasa yang rambutnya gimbal itu serasa terbebas dari dalam kotak wayang. “Kalau ada dalang malah nggak enak. Aku selalu kalahan melulu. Sekali-sekali buto menang melawan ksatria… hua…ha..ha…!”
“Betul… betul….!!!” sahut Buto Cakil yang gigi bawahnya tonggos ke depan sepuluh senti seperti memprovokasi.
Tak perlu waktu yang lama. Masing-masing wayang melakonkan dirinya sendiri. Duryodana berbincang akrab dengan Yudhistira, mengajak berkoalisi. Gatotkaca terbang ke sana-kemari memantau situasi. Arjuna bebas mojok bersama Banowati. Nakula dan Sadewa berantem memperebutkan sebuah lemper di meja tamu undangan. Bimasena mengacak-acak gunungan dengan kuku pancanaka miliknya. Tak lama kemudian saling bercanda dengan Dursasana. Bima seakan lupa pada sumpahnya yang akan melepas kulit Dursasana dari tubuhnya, gara-gara Dursasanan melecehkan Drupadi.
Mana kawan, mana lawan terbolak-balik. Para bathara tak kalah kacaunya. Bathara Narada dan Bathara Guru berubah menjadi sosok jelata. Keduanya menyatu dengan para kawula dengan melepas asap dari kretek yang diisapnya. Gareng naik ke singgasana, menasbihkan diri sebagai raja Hastinapura. Duryodana tertawa menyaksikan tingkah Gareng. Sementara itu Petruk cemberut karena kalah gesit dibandingkan Gareng.
Adipati Karna sedang kangen-kangenan dengan Kunti, ibu kandungnya. Terdengar keributan, Arjuna dilabrak oleh Srikandi karena terlalu asyik bersama Banowati. Rupanya tak hanya Srikandi doang, kelima belas istrinya yang lain ikutan nimbrung. Banowati bersungut meninggalkan Arjuna. “Dasar muridnya Eyang Sabar….!!!” kata Banowati ketus.
Di sudut gamelan dekat gong besar, Bathara Kresna sedang menatap kekacauan yang sedang berlangsung. Ia hanya diam, tak bisa berbuat apa-apa.