Kyaine yang sedang leyeh-leyeh sehabis menyantap makan siangnya, didatangani oleh RM Ario Trengginas. Ia tergopoh-gopoh keluar dari Kyai Dewandaru, mobil mersi tahun 40-an kesayangannya. Tanpa uluk salam ia langsung menuju pendapa Padeblogan, clingak-clinguk mencari Kyaine. Dan ketemu. Kyaine kaget.
“Biyuh-biyuh… ada apa Denmas. Magita-gita datang ke Padeblogan tanpa kulanuwun. Sajak ada yang gawat.”
“Kyaine, tahu nggak hari ini ada deklarasi Daerah Istimewa Surakarta. Sampeyan sebagai orang Karanganyar yang nota bene masuk dalam tlatah Karesidenan Surakarta harus tahu masalah ini.”
“Mosok, Denmas. Siapa yang mbikin deklarasinya?”
“Ada sekitar dua ratusan orang berkumpul di trotoar di dekat gapura perbatasan DIY dan Klaten. Itu loh di selatan Candi Prambanan.”
“Weladalah… masalahnya kok jadi ngombro-ombro semacam ini. Kayaknya, ini gara-gara pemerintah pusat nggak tegas mengenai keistimewaan DIY kemarin itu. Loh, Denmas dapat kabar dari siapa?”
“Piye toh? Jaringan saya kan luas. Ada saja laporan dari Jogja. Makanya, buru-buru ke sini. Critanya, mereka yang ada di selatan Candi Prambanan itu sedang mengadakan acara wilujengan atawa slametan gitu. Nah, sekaligus melakukan deklarasi keistimewaan Surakarta.”
“Loh… itu kan api yang telah padam, critanya mau dinyalakan lagi toh ini? Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, keren juga ya nama ini. Xixixi…”
“Nah itu dia. DIS nanti mestinya akan meliputi wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Sragen, dan Kodya Surakarta. Lha, sampeyan sendiri, sebagai orang Karanganyar piye?”
“Piye apanya, Denmas?”
“Haiyo embuh!”
“Sepengetahuan saya sih, Piagam Kedudukan Daerah Istimewa Surakarta dikeluarkan lebih awal daripada Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu anggal 1 September 1945, sementara untuk Yogyakarta baru dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945.”
“Bukankah isi surat piagam kedudukan dan maklumat tersebut, sama persis dengan Yogyakarta, Kyaine? Karena pada saat itu kondisi di Surakarta sedang terjadi pemberontakan swapraja, bolak-balik pejabat patih keraton dibunuh maka pemberlakuan isi piagam tertunda melulu.”
“Konon, Kanjeng PB XII dan Mangkunegara VIII pernah mengutus Wuryaningrat berunding ke pemerintah pusat. Tapi tidak lanjutnya seperti apa kok saya kurang paham, Denmas.”
“Jadi sampeyan nggak pulang kampung untuk memantau langsung di lapangan?”
“Mboten Denmas, kita tunggu saja ontran-ontran DIS ini. Redup apa malah menjadi berkobar-kobar.”