Cundrik untuk Srintil

uluk-uluk perkutut manggung
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon,
ora manis kaya putuku, Srintil
~Mantra Nyai Kertareja ketika meniupkan pekasih ke ubun-ubun Srintil~

Menyaksikan film Sang Penari fikiran kita melayang ke tahun 60-an. Sungguh memprihatinkan kondisi Indonesia di tahun itu yang terwakili oleh Dusun Paruk. Sang Penari berhasil menggambarkan betapa terbelakangnya Dusun Paruk.

Saya mencatat beberapa adegan Srintil (Prisia Nasution) dan Rasus (Oka Antara) – yang menurut penilaian obyektif saya – mampu memperkaya imajinasi saya setelah membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.

Film diawali oleh sebuah tragedi di masa kecil Srintil. Ayah dan ibunya adalah pembuat tempe bongkrek. Banyak penduduk desa yang memakan tempe bongkrek buatan ayah Srintil, termasuk Jenganten Surti (diperankan oleh Happy Salma) – sang ronggeng saat itu, tewas mengenaskan. Ayah dan ibu Srintil pun ikut meregang nyawa dengan sengaja menelan tempe bongkrek buatannya.

Di saat kalang kabut seperti itu, cundrik (keris kecil) milik Nyi Ronggeng jatuh di halaman rumahnya. Tangan mungil milik Rasus memungut cundrik itu lalu menyimpannya di kolong tempat tidurnya. Dukuh Paruk kehilangan pamor karena tak ada ronggeng lagi. Ki Kertareja (Slamet Rahardjo) – dukun ronggeng, tak ada pekerjaan yang berhubungan dengan ronggeng.

Suatu hari, Sakarya (Landung Simatupang) – kakek Srintil, berkata kepada Kertareja kalau cucunya itu kejatuhan indang Eyang Secamenggala, yang otomatis direstui menjadi seorang ronggeng. Ki Kertareja bergeming, karena tak ada bukti kalau Eyang Secamenggala memilih Srintil jadi ronggeng.

Pada suatu malam, di depan rumah Ki Kertareja, Srintil telah siap untuk menari. Ia dikerubungi oleh warga Dukuh Paruk. Tetapi hingga larut malam, dukun ronggeng itu tak mau keluar dari rumahnya. Satu persatu penonton meninggalkan tempat, akhirnya tinggal berdua: Srintil dan Sakum, penabuh kendang buta. Adalah Rasus, lelaki yang dicintai Srintil satu-satunya penduduk Dukuh Paruk yang menolak Srintil menjadi penari ronggeng. Srintil meyakinkan Rasus, panggilan menjadi ronggeng adalah untuk menebus kesalahan orang tuanya di masa lalu, yakni tewasnya banyak orang karena tempe bongkrek.

Rasus pun mengambil cundrik yang ia sembunyikan untuk diberikan kepada Srintil. Sakarya membawa cundrik itu ke Ki Kertareja dan menjadi bukti kalau Srintil benar-benar terpilih menjadi next-ronggeng oleh Eyang Secamenggala. Srintil pun dinobatkan sebagai ronggeng Dukuh Paruk. Warga Dukuh Paruk bersuka cita.

Syarat terakhir yang harus dilakoni Srintil untuk menjadi ronggeng adalah bukak-klambu, yaitu semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang berminat dapat menyerahkan uang, perhiasan atawa hewan ternak yang ditentukan oleh Ki Kertareja. Edan tenan, keperawanan Srintil disayembarakan!

Sebelum bukak-klambu dilaksanakan, Srintil menyelinap keluar rumah mencari Rasus. Srintil ingin Rasuslah yang mengambil keperawanannya. Di kandang sapi, mereka melakukannya dengan rasa sedih dan perih. Mereka saling cinta, tetapi mereka tidak suka bercinta dengan cara demikian. Mereka menangis.

Rasus – yang tinggal bersama neneknya, yang sebelumnya pemuda kurang gizi, kurus, pandangan mata yang sayu, terbelakang pendidikannya dan pekerjaanya sebagai buruh tani di kebun singkong menjelma menjadi pemuda gagah, bisa membaca, bisa nyetir mobil setelah ia masuk tentara di bawah bimbingan dan asuhan Sersan Slamet (Tio Pakusadewo). Ia meninggalkan neneknya, sesekali Srintil merawat nenek Rasus.

Rasus pulang kampung ketika neneknya sakit keras dan meninggal di depan matanya. Bara cinta Rasus – Srintil kembali bergolak. Kali ini, mereka bercinta penuh gairah.

Dukuh Paruk yang kondisinya terbelakang mudah disusupi oleh ideologi kiri, yang dipropaganda pemuda Bakar (Lukman Sardi). Situasi politik nasional kacau, Bakar tak tahu harus berbuat apa. Demi alasan stabilitas, orang sekampung diciduk dan ditahan oleh aparat, termasuk Srintil.

Rasus kehilangan jejak Srintil. Dukuh Paruk sepi. Rasus sempat memungut cundrik Srintil yang jatuh saat Srintil ditangkap aparat. Ketika memasuki rumah, Rasus hanya bertemu dengan Sakum yang ketakutan di pojok rumah, dan memintanya mencari di mana Srintil. Atas bantuan komandannya, Rasus pun menemukan tempat penyekapan Srintil. Tetapi ia terlambat, Srintil dan beberapa kawannya dipindah ke camp lain menggunakan kereta tebu. Rasus mencoba mengejar, tetapi ia dilumpuhkan oleh aparat lain.

Awal rezim Orde Baru, Indonesia mulai membangun. Jalan di depan pasar Dawuan diaspal. Rasus yang sedang patrol, mampir ke pasar Dawuan yang saat itu sudah sepi. Terdengar suara kendang di belakang pasar. Dari kejauhan Rasus melihat Srintil dan Sakum sedang mengamen di pasar tersebut.

Srintil tidak cantik lagi seperti ketika masih jadi ronggeng dulu. Dandanannya menor, ciri pengamen pasar. Mereka bertemu, tidak ada perasaan rindu. Rasus meraih tangan Srintil dan mengulurkan cundrik, pusaka warisan Eyang Secamenggala. Srintil dan Sakum berlalu menjauhi Rasus, sambil berdendang dan menari.

Srintil dan Sakum terus berdendang dan menari, mendekati cakrawala.