Cin

Cin, demikian panggilan sayangmu jika aku menyapamu. Sebagai ikatan cinta yang sudah terjalin demikian lama, aku sematkan sebuah cincin bermata berlian di jari manismu. Kalau nggak salah di jari kiri ya? **maab, aku lupa**

Dulu, ketika pedekate aku sempat heran dengan makanan kesukaanmu. Setiap hari kamu ajak aku makan siang di rumah makan Minang. Dan hanya itu-itu saja laukmu, daging cincang dan minuman kesukaanmu es cingkat (kelapa muda). Demi cintaku padamu, mana berani aku menegurmu supaya kamu kurangi makan di rumah makan Minang itu. Wong nyatanya, selalu kamu yang membayar makanan yang masuk ke perutku.

Suatu ketika aku senang bukan main ketika kamu memelukku erat, meskipun itu pelukan tanpa kamu rencanakan terlebih dahulu. Itu loh, saat kamu jijik melihat seekor cindil (anak tikus, jw) melintas di dekat kakimu. Ah, kadang aku berharap supaya anak tikus itu sering-sering lewat dekat kakimu.

Saat kamu merajuk, kamu suka minta aku untuk mendongeng cindelaras dan ayam jagonya atau kamu akan minta cindur mata (cendera mata, kenang-kenangan) yang kadang sulit aku mencarinya.

Dengan suara fals-mu, kamu memaksaku mendengar nyanyianmu. Lagu Cindai-nya Siti Nurhaliza yang menjadi favoritmu. 

Ini artikel apaan sih? Sudah deh, kita cincay-lah!!