Cerita tentang mudik

Saya merantau untuk bekerja di Jakarta hampir tiga dasa warsa yang lalu. Setiap libur lebaran, saya selalu mudik ke Kota Kelahiran yang berjarak sekitar 600 km.  Ini kisah mudik yang tercatat di ingatan saya.

Pertama kali mudik saya masih bujangan. Naik bus dari Terminal Pulogadung. Saya mendapatkan tiket dari seorang calo, dengan harga selangit. Tidak apa-apa, demi ketemu keluarga di kampung halaman dengan membawa sedikit tabungan dari sisa-sisa gaji di awal bekerja.

Mudik kedua, saya sudah beristri dan tinggal di Karawang, 50 km arah timur Jakarta. Karena istri tengah hamil anak pertama, saya memilih mudik naik KA dari Jatinegara. Kondisi KA jaman dulu tentu berbeda dengan KA sekarang yang super nyaman. KA Senja Utama yang saya naiki penuh sesak, hingga nanti sampai Stasiun Solo Balapan. Mudik tahun-tahun berikutnya, saya membawa keluarga kecil saya naik “mobil profit”.

Mobil profit yakni mobil baru keluaran pabrik yang dikirim ke dealer-dealer mobil melalui jalan darat. Namanya mobil baru, masih terbungkus plastik dan plat nomornya pun masih sementara. Mungkin daripada mobil kosong, oleh supirnya ‘dikaryakan’ sekaligus nanti penumpang sebagai teman mengobrol di perjalanan. Aneka merk dan jenis mobil profit yang saya pernah coba. Nyaman sekali (karena AC dinyalakan), daripada naik bus atau KA. Berasa naik mobil pribadi.

Sejak saya mempunyai mobil sendiri, saya mudik menggunakan mobil tersebut. Saya menjadi saksi sejarah bagaimana perkembangan pembangunan infrastruktur jalan dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah. Kemacetan berjam-jam di jalur Pantura menjadi keasyikan tersendiri saat mudik lebaran. Bahkan pernah perjalanan mudik ditempuh dalam waktu 24 jam!

Betapa bangganya saya saat pertama kali melintasi jalan tol Cirebon yang waktu itu dibuka secara fungsional. Kemudian disusul tol Pejagan. Perjalanan dari Karawang menuju perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah menjadi sedikit lebih cepat.

Nanti saya juga punya pengalaman melintasi tol Cipali secara fungsional atau melintasi Jembatan Kali Kuto Batang di tol Trans Jawa yang masih dalam masa konstruksi.

Karena libur lebaran anak-anak mengikuti libur sekolah – dan libur lebaran kantor saya jatuhnya belakangan, maka untuk mengindari macet saat puncak mudik, anak-anak dan ibunya (lengkap dengan para kucing kami) saya antar mudik duluan. Nanti saya kembali ke rumah dengan transportasi umum, dan saya mudik sendirian dengan transportasi umum juga.

Namun sejak tol Trans Jawa sudah tersambung sampai ke Kota Kelahiran, saya kembali mudik dengan mengaspal dan menikmati menjadi supir Pantura.  Tak hanya saat mudik, di hari libur yang lain pun saya ke Kota Kelahiran melewati tol Trans Jawa tersebut.

Dua tahun lebaran di masa Pandemi Kopit ini kami tidak mudik. Kami mematuhi himbauan Pemerintah, tidak mudik untuk memutus penyebaran si kopit.