Cerita di makan siang

Jika saya ingin makan siang yang praktis, warung Padang milik Uda Jo menjadi pilihan utama. Selain tempatnya tidak jauh dari kantor, rasa bumbu Minangnya belum begitu terkontaminasi dengan masakan Sunda atawa Jawa. Masalah harga sangat relatif, tergantung makan berlauk apa. Masuk ke warung, tengak-tengok etalase memilih lauk yang cocok, lalu duduk manis menikmati santap siang. Selesai makan menghampiri Uda Jo yang duduk manis di belakang kasir dengan menyebutkan makanan yang tadi masuk ke perut, lalu jemari Uda Jo dengan lincah pencat-pencet kalkulator menjumlah angka yang harus dibayar.

Ada kebiasaan saya yang dihapal oleh crew-nya Uda Jo. Lauk wajib: tempe goreng. Pupukan nasi: daun singkong, lauk pilihan, bumbu rendang, 3 kuah, tanpa sambel. Minum: teh botol dingin. Supaya saya tidak kehabisan tempe, crew sering menyimpankan 2 tempe untuk saya. Lha, kalau nanti ternyata saya tidak makan di sana bagaimana? O, rupanya mereka punya tenggat waktu. Jam 12.30 saya belum datang, tempe dikembalikan ke etalase yang berarti siapa pun boleh memilih tempe itu untuk lauknya.

Bagaimana dengan minuman? Ketika saya antri saya suka  menengok kulkas, ada teh botol atawa tidak. Jika tidak ada, saya berkomentar ke Uda Jo, “Pabrik teh botolnya tutup ya, Da?” Nanti, ketika ia kehabisan stok teh botol ia akan buru-buru memberitahukan ke saya kalau pabrik teh botol tutup karena ada demo. Teh botol pun disubsitusi dengan segelas es teh tawar (apakah ada yang tahu, warung Padang mana yang memulai menggunakan teh merk Bendera?).

Omset warung Uda Jo sangat bagus, apalagi ia menggunakan delivery service. Bahkan satu bungkus pun (kalau tidak hujan) dilayani. Ada crew yang mengantar sampai tempat tujuan. Kenapa saya tidak menggunakan service ini? Sambil makan saya bisa berinteraksi dengan para langganan Uda Jo yang datangnya dari berbagai kalangan itu: pegawai kantoran, pegawai pabrik, mandor bangunan, pengurus LSM, sopir truk, dan masih banyak lagi. Maklum, lokasi warung Uda Jo terletak di lingkungan kawasan industri.

Siang tadi, warung Uda Jo padat sekali. Sampai-sampai saya tidak kebagian tempat, sehingga menikmati makan siang di meja yang terletak di pojokan, tempat di mana emaknya Uda Jo duduk-duduk sambil mengamati suasana warung.

“Maaf pak Karno, sampai nggak dapat tempat!”

“Nggak apa-apa Mak.”

“Oee… Yah… kobokan untuk pak Karno manaa?!!!”

“Itu.. mantunya ya Mak?”

“Iya, biar ikut belajar dagang sama kakaknya.”

Yah datang membawa kobokan dan segelas teh tawar.

“Ye… mana teh botolnya…!!!”

“Sabarlah Mak, dia kan baru  di sini kan?”

“He..he… biar cekatan dia.”

“Oh iya Mak, rumah makan Padang yang di sana dan di sana itu masih punya Mak?”

“Itu yang dekat jembatan punya kakaknya Jo. Terus yang di pertigaan pabrik tekstil itu adiknya Jo. Lalu, yang sebelah tambal ban itu ditunggu bapaknya Jo.”

“Hmm… konglomerat rumah makan Padang rupanya. Terus adik-adiknya Uda Jo yang sekarang ikut di sini?”

“Bagaimana nanti saja. Mereka biar belajar dulu di sini. Yaahhh…. mana nasi tambah untuk Pak Karno!!!”