Syahdan, melalui kuasa Allah Yang Mengetahui segalanya, Amongraga baru tahu bahwa saudara-saudaranya mati semua. Ia hentikan tapanya di dasar samudra, begitu juga percakapannya dengan lautan, ia naik ke permukaan air, kembali ke rupa asal, lalu ke raganya tanpa bobot, rasa semata. Dengan memusatkan pikiran, dalam sekejap ia tiba di dusun impian Wanataka.
Jenazah-jenazah itu untungnya belum dimandikan. Amongraga mendekat, sembah sujud dan memberkati ketiga mayat itu yang lalu hidup kembali karena itu memang belum waktunya mati. Mereka sebenarnya hanya pingsan, Amongraga memeluk mereka erat-erat.
Tambangraras mengenali suami tercintanya, dengan rambutnya yang terurai, ia membersihkan kaki lelakinya, kemudian menciumnya sambil membetulkan sanggulnya. Mangunarsa dan Rancangkapti tak tahu bahwa itu kakak mereka sebab mereka terpisah darinya sejak mereka masih kecil dan tak ingat lagi lahiriahnya.
Tambangraras berkata kepada mereka: “Lihat! Itu ia, dialah, kakak kalian!” Mereka lalu melihat kerumunan bayang-bayang Allah terbang menolong dan berjatuhan dalam doa di kaki Amongraga:
Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Ia kehendaki. Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
[Dendang Awan Mencari Matahari, Tembang 143]
~oOo~
Serat Centhini menembangkan pengembaraan luar batas, pengembaran dua putra serta putri belia yang terpaksa lari dari Kerajaan Giri karena diserbu tentara Sultan Agung yang pada abad ke 17 menundukkan hampir seluruh Pulau Jawa. Dalam kekalutan peperangan, si sulung kehilangan kedua adiknya. Selama saling pergi mencari itulah kedua putra dan sang putri mencicipi semua kebijaksanaan dan segala pelanggaran yang tumbuh subur di Tanah Jawa di candi-candi terlantar, di puncak foya-foya mewah, hutan belantara yang dikuasai jin-jin mbalelo, di mulut-mulut gua yang pekat, di asrama panas pondokan, serta di kedalaman benderang samudera. Buku Centhini: Kekasih yang Tersembunyi oleh Elizabeth D. Inandiak ini diterbitkan oleh Babad Alas (Yayasan Lokaloka), Yogyakarta, Juli 2008. Tebal buku 444 halaman, sedangkan artikel Dendang Awan Mencari Matahari Tembang 143 dapat ditemukan di halaman 384.