Adipati Karna meletakkan cangkir yang berisi wedang jahe itu di meja. Setengahnya telah ia minum. Kembali ia duduk di sebelah Surtikanthi, dan memulai bercerita mengenai Adirata, bapak angkatnya.
“Tahukah kau, istriku. Betapa aku menaruh sangat hormat kepada bapak Adirata? Ya, ia yang mengasuhku sejak bayi hingga dewasa. Ia ingin anak angkatnya menjadi manusia yang berguna bagi sesama, untuk itulah ia mencarikan guru untuk mengasah kemampuan dan bakatku. Atas izinnya, aku juga sering berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menambah ilmu dan wawasanku hingga aku sampai di stadion Hastinapura dan menantang Arjuna.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah bapak Adirata menemuimu di stadion Hastinapura, mas?”
“Di situlah aku dihina habis-habisan oleh Pandawa, terutama oleh si Werkudara a.k.a Bima. Ia tertawa melecehkan posisiku sebagai anak kusir kereta. Ia bilang kalau aku tidak pantas bertanding dan mati di tangan Arjuna. Aku sangat marah mendengar ejekan Bima. Rasanya aku ingin menempeleng adikku itu, tetapi Duryudana keburu menahan tanganku. Duryudana membelaku dengan berkata kepada Bima bahwa hakikat ksatria adalah keberaniannya, bukan dari mana asal-usulnya. Duryudana segera membawaku ke istananya!” read more →