Dongeng-dongeng Sapardi

Perempuan pertama yang ditemuinya hampir tertabrak olehnya. Malin gembira telah menemukan ibunya dengan mudah. Ia langsung bersujud di hadapannya, mengucapkan kata-kata yang hanya bisa ditemui dalam dongeng-dongeng yang bisa mengharu biru.

“Ibu, saya anak yang telah mendurhakai Ibu. Saya minta maaf atas dosa yang tak bisa ditakar itu, Ibu.”

Perempuan itu terkejut, memandangnya dengan curiga.

“Aku tidak mengenalmu, Nak. Kamu ini siapa?”

“Saya Malin, Si Anak Durhaka.”

“Lho, Nak, mana ada anak yang durhaka kepada Ibunya!”

Tatapan Malin tampak tambah masak, perempuan itu membayangkan ada air mendidih di mata lelaki muda itu.

“Demi Allah, Nak, aku bukan ibumu. Masuklah ke kerumunan itu, siapa tahu yang kau cari ada di situ.” read more

Bang Kumis membaca Inferno

Di hotel prodeo, Bang Kumis protes kepada sipir karena tidak disediakan koran. Kata sipir, penjara nggak ada bajet untuk pengadaan koran atawa majalah. Sebagai seorang kutu buku hidup di dalam bui tanpa bacaan untuk waktu yang lama sungguh menyiksa. Beruntung, sipir penjara memperbolehkan para penghuninya membawa buku bacaan dari luar.

Pada suatu siang, Bang Kumis mendapatkan kiriman sebuah buku dari kerabatnya. Sebuah novel terbaru yang ditulis oleh pengarang favoritnya: Dan Brown. Semua buku Dan Brown sudah dibacanya, seperti The Lost Symbol, Angels & Demons, Deception Point, Digital Fortress dan tentu saja novel yang paling banyak dibaca sepanjang waktu oleh banyak kalangan yakni The Da Vinci Code. read more

Agustus-1 | Tak Ada Nasi Lain

Agustus adalah bulan Proklamasi RI. Saya akan mengawali mengenang Proklamasi RI tahun 1945 tersebut dengan membagi tulisan tentang sebuah novel yang berlatar belakang suasana masa awal kemerdekaan Republik ini. Novel itu berjudul Tak Ada Nasi Lain, karya Pak Suparto Brata (kini, 81 tahun), yang saya temukan di Solo pertengahan Juni lalu.

Adalah Saptono, seorang anak lelaki asal Sragen yang dititipkan ibunya pada sebuah keluarga ningrat yang masih terhitung buliknya di daerah Gajahan (barat Alun-Alun Kidul Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Ia hidup bersama dengan para saudara sepupunya, dengan melalui kehidupan zaman Hindia Belanda, transisi pendudukan Jepang, kemerdekaan Indonesia, hingga awal tahun 1960-an. Pak Suparto Brata sangat detil menceritakan suasana Kota Solo di masa lalu di mana Saptono menjalani kehidupannya di kota itu. Tak Ada Nasi Lain seperti biografi penulisnya.

Bagi saya yang lahir jauh setelah Indonesia merdeka, detil di novel tersebut memberikan pengetahuan yang sangat berarti secara tempat-tempat yang disebutkan dalam novel tersebut kaki saya pernah menginjaknya. Gaya reportase Pak Suparto Brata seakan melengkapi cerita Bapak saya seputaran Solo di zaman penjajahan Jepang. read more