Batal berhaji (lagi)

Stasiun Cikampek cukup lengang petang kemarin. Para penumpang KA Singasari sudah diperbolehkan menunggu di peron. Saya salah satu penumpang yang akan turun di Stasiun Purwosari Solo. Di mushola stasiun saya bertemu dengan mas Pram, kolega di sebuah organisasi, yang akan menjadi teman perjalanan saya – setidaknya sampai di Purwokerto nanti.

“Mau ke Solo mas?” sapanya, terlebih dulu.

“Iya nih, besok peringatan setahun perginya bapak. Sampeyan sendiri mau ke mana?”

“Ke rumah mertua, di Purwokerto. Mau menenangkan beliau yang tahun ini batal lagi pergi hajinya. Jadwal keberangkatan kan seharusnya tahun lalu. Lha tahun ini Pemerintah tidak memberangkatkan haji Indonesia.”

Tahun lalu Saudi menyelenggarakan haji secara terbatas, tidak menerima jamaah dari luar negeri. Sedangkan tahun ini, Pemerintah RI memutuskan tidak mengirim jamaah haji dengan alasan utama keamanan kesehatan karena Pandemi Kopid belum selesai. Saya bisa ikut merasakan bagaimana sedihnya para calon jamaah haji Indonesia dengan dua kali penundaan keberangkatan.

“Dengar-dengar sampeyan sendiri juga akan berangkat mas?”

Nggih mas, rencana kami berangkat berempat. Saya, nyonya dan kedua mertua. Bapak ibu saya sendiri sudah almarhum. Saya dan nyonya sudah pasrah dengan kondisi ini, tapi saya mesti membesarkan hati mertua. Keinginan beliau ke Tanah Suci sepertinya sudah menjadi keinginan yang tidak bisa ditawar di sisa usianya sekarang ini.”

Seorang perempuan yang telah menyelesaikan shalatnya menghampiri mas Pram, dan mas Pram memperkenalkan istrinya itu ke saya. Dan kami pun mencari tempat duduk yang nyaman di ruang tunggu.

“Mas Pram di gerbong mana?”

“Ekse 4 mas, kalau sampeyan?”

“Ekse 1. O, iya menyambung omongan tentang haji tadi mas. Saya di bulan Puasa kemarin kok berharap ada keajaiban untuk haji Indonesia ya?”

Pripun mas?”

“Secara mengejutkan Pemerintah Saudi  memutuskan pelaksanaan haji tahun ini hanya dikhususkan untuk jamaah yang berasal dari Indonesia. Selain memudahkan pengawasan selama masih pandemi, juga menyelesaikan masa tunggu hingga sepuluh tahun. Kalau tidak salah jumlah jamaah setiap musim haji sekitar 2.3 juta.”

“Pas itu, 2.3 juta dibagi 230rb berarti ada 10 tahun jamaah Indonesia. Tapi mokal ya mas?”

Kami tertawa bersamaan  dengan pemberitahuan kalau KA Singasari masuk Stasiun Cikampek. Kami berpisah untuk

Srawung, rencana pensiun dan Pakde

Saya senang mendengarkan kalau anak saya bercerita tentang suasana kantornya hari itu. Sesekali saya memberikan komentar dan wawasan seputaran dunia kerja kepadanya. Saat ini kau masih dalam tahap berjuang nak, masih jauh untuk menemukan maqam yang enak untuk pijakan. Tetapi yang membanggakan, ia ikut terlibat dalam sebuah perubahan manajemen yang lebih baik di tempatnya bekerja.

Sering saya menekankan kalau gaji itu urusan ke sekian. Berkaryalah sebaik-baiknya. Jika kau digaji seribu, berikan seribu lima ratus harga karyamu. Jangan mengejar kekayaan, sebab kekayaan itu sejatinya akibat dari buah karyamu. Mulailah untuk srawung sak jembar-jembare, bergaul seluas-luasnya, tak hanya di lingkungan tempat kerja tetapi juga di luar itu.

***

Tiga hari sebelum cuti lebaran kemarin, mas Kandam mampir ke kantor saya. Alhamdulillah, ia membawakan seperangkat kue lebaran buatan istrinya. read more

Skak

Di masa bocah dulu, soal mainan, bapak tidak pernah membelikannya untuk keempat anak lanangnya. Saya akui bapak sangat kreatif membikinkan mainan untuk kami. Misalnya ketika sedang musim tembak-tembakan, bapak membuat pistol mainan dari kayu. Atau ketapel dari batang jambu yang terkenal liat itu. Kami menyaksikan dan kami meniru apa yang dibuatkan bapak tadi. Tak sekedar diraut, bahkan sampai diamplas dan dicat.

Pada suatu hari ketika bapak pulang kerja – ia pulang seringnya malam hari – bapak mengelap lantai semen ruang tamu rumah kami. Listrik PLN yang baru sebulan kami nikmati, menerangi remang-remang ruang tamu. Mungkin karena waktu itu pasokan listrik PLN masih menggunakan 110 Volt, cahaya lampu tidak begitu terang. read more