Dizalimi

Mat Kohar duduk leyeh-leyeh di balai-balai depan rumahnya, setelah hampir seharian jajah desa milangkori (jajah = well-traveled, desa milangkori = to go from one village to another) menjajakan dagangannya. Tiba-tiba saja ia kedatangan seseorang berlari ke arah pintu rumahnya. Mat Kohar pun mak gregah bangkit dari duduknya dan menghadang orang tersebut.

Kisanak, tolonglah saya. Izinkan saya bersembunyi di dalam rumahmu. Saya sedang mendapatkan fitnah, dituduh mencuri uang toko milik Wan Tajir!” kata orang tersebut ketakutan, nafasnya tersengal tidak teratur.

“Hmm.. jadi kamu toh yang sedang dicari-cari oleh para pegawainya Wan Tajir. Tadi waktu saya lewat depan tokonya, orang-orang pada meributkan ada pencuri yang melarikan diri,” kata Mat Kohar.

“Benar. Orang yang dikejar-kejar pegawainya Wan Tajir memang saya. Tapi, demi Allah saya bukan pencurinya,” jawab orang itu.

“Baiklah, saya percaya kamu. Bersembunyilah di dalam rumahku,” ujar Mat Kohar.

Tak lama, Wan Tajir dan para pegawainya sampai di depan rumah Mat Kohar. Dua atawa tiga anak buahnya menunjuk ke arah dalam rumah Mat Kohar dan meyakinkan Wan Tajir kalau mereka melihat orang yang dikejarnya masuk ke dalam rumah itu.

“Ada apa Wan? Kok ramai-ramai datang ke rumahku yang sederhana ini. Silakan duduk,” kata Mat Kohar ramah. read more

Doa makbul milik siapa?

Dalam sebuah majelis pengajian malam Jumat Pon, setelah memberikan uraiannya Kiai Mukri melontarkan sebuah pertanyaan, “Jadi, sampai dengan tahun ini di kampung kita ada berapa orang yang sudah naik haji?”

Diam sejenak. Para hadirin bibirnya umak-umik, menatap ke langit-langit langgar, ada yang memejamkan mata, ada pula yang menggerakkan jemarinya. Semua menghitung.

“Ada delapan orang, Kiai!”

Nggak dong, tujuh!”

“Menurut perhitunganku, sih, sepuluh orang!”

Kiai Mukri menengahi. Satu demi satu nama orang yang sudah berangkat haji disebut dan dihitung. Ternyata ada sembilan orang. Kemudian, Kiai Mukri kembali melontarkan pertanyaan, “Kalau dihitung seluruh Indonesia, berapa orang Indonesia yang sudah naik haji?”

Kathah sanget, Pak Kiai….”

Semua tertawa. Ya, banyak sekali. Kiai Mukri membuka suara lagi. read more

Kosong

Sekira ada kali lima tahunan saya tidak bertemu dengan mas Purwo. Kemarin kami bertemu dalam suatu acara seremonial tempat ia bekerja dan kebetulan saya mendapatkan undangan untuk hadir di sana. Saya melihat prejengan mas Purwo yang semakin muda saja. Lelaki 48 tahun itu terlihat seperti baru berumur 35 tahun.

“Rahasianya apa mas?” tanya saya setelah ngalor-ngidul menceritakan kabar masing-masing. Ia tersenyum. Konon, sudah belasan orang yang mengajukan pertanyaan seperti saya kepadanya. “Mengosongkan pikiran!” jawabnya singkat.

Tentu saja saya mengejar pernyataannya itu, hawong saya penasaran banget jeread more