Rejeki terakhir

Tubuh lelaki tua itu diselimuti sebatas dada. Nafasnya masih terlihat naik-turun, namun kesadarannya tak sepenuhnya normal. Orang-orang yang berkerumun di ruang sebelah memprediksi kalau umurnya tak lama lagi akan tamat.

Konon, nyawa belum mau meninggalkan raganya sebelum anak bungsunya hadir di hadapannya. Ya, mungkin anak bungsunya – yang tinggal di kota lain yang berjarak ratusan kilometer itu – masih dalam perjalanan setelah sebelumnya dihubungi untuk segera pulang. Duh, malaikat pencabut nyawa, tunggulah barang sejenak. Anakku masih di jalan. read more

Kita sangat akrab dengan Tuhan

Kita ini sesungguhnya sangat akrab dengan Tuhan, hanya saja banyak dari kita yang nggak menyadari hal tersebut bahkan cenderung menjaga jarak dengan-Nya. Tahu nggak, nekjika kita mendekati-Nya dua langkah Dia akan berlari mendekati kita. Buku Suci juga mengatakan kalau Dia mengalir di pembuluh darah kita. O, betapa dekatnya. Melekat, bahkan.

Kehadiran Tuhan adalah pahala terindah.

Mau bukti lagi betapa akrabnya kita dengan Tuhan? Dalam khazanah bahasa Indonesia, posisi Tuhan ditempatkan demikian akrab dengan keseharian kita. Lihat saja dalam paragraf pertama tulisan ini. Dari tadi saya menyebutnya dengan “Dia” dan “Nya” bukan dengan sebutan “Beliau” atawa “Paduka”  atawa sebutan yang mengambil jarak. Menyebut panggilan Tuhan dalam bahasa tulisan hanya dibedakan dengan huruf kapital. read more

Ibu adalah surga

(1)

Malam itu aku demikian gelisah. Minyak lampu teplok yang tergantung di bilik kamarku telah habis terserap oleh sumbunya, redup sinarnya. Sebentar lagi gulita. Jantungku terasa makin cepat genjotannya, ketika fikiran membayangkan betapa ngerinya penyiksaan esok hari. Ya, aku akan dibantai atawa tepatnya dipenggal!

Azan subuh terdengar sayup-sayup ditingkahi dengan kokok ayam jago yang bersahut-sahutan dari penjuru kampung. Aku baru saja terlelap, tetapi sepasang tangan kekar telah menarik selimut dan menyeretku keluar kamar.

“Cepat siapkan drumnya… isi dengan air!” perintah si tangan kekar kepada orang di sebelahnya. Aba-aba selanjutnya ditujukan kepadaku.

“Ayo, lepas semua pakaianmu dan masuk ke dalam drum ini,” gertaknya.

Ketakutanku malah menambah dinginnya pagi itu. Aku menuruti perintahnya, masuk ke drum yang tingginya hampir sama dengan tinggi badanku. Gigi-gigiku gemeretak sebagai respon mulai membekunya syaraf-syaraf di sekujur tubuh. read more