Dan Rangkaian Ibadah Haji pun Terlaksana

Menunggu saat wukuf di Arafah cukup mendebarkan hati. Tidak terasa hari yang ditunggu-tunggu itu tiba. Dari maktab, saya sudah siap mengenakan kain ihram. Perjalanan ke Arafah memerlukan waktu hampir 2 jam. Selepas asar, saya tiba di tenda yang telah disediakan. Malam pun tiba, di dalam tenda gelap, hanya penerangan dari lampu-lampu jalan di sekitar wilayah Arafah. Ujian kesabaran dimulai sudah, dari antri di toilet, tidur beralaskan tikar berdempet-dempetan dengan teman juga serangan nyamuk.

Di antara larangan ketika ihram adalah tidak boleh menggunakan wangi-wangian dan membunuh binatang. Untuk menghindari perdebatan, apakah obat nyamuk oles termasuk kategori wangi-wangian atau membunuh binatang itu termasuk juga nyamuk, saya tidak menggunakan obat nyamuk oles dan hanya mengusir nyamuk kalau mendekati telinga saya. Ketika nyamuk-nyamuk ganas mulai menyerang dan saya memanjatkan doa sederhana kepada Gusti Allah :”Duh Gusti, saya membiarkan nyamuk-nyamuk ciptaan-Mu menggigit tubuh saya, tetapi mohon dengan sangat agar saya jangan diberikan rasa gatal”. Alhamdulillah, doa saya manjur. Pagi hari, saya lihat kaki dan tangan saya merah-merah (kata teman saya, pipi saya juga kena) oleh gigitan nyamuk, tetapi saya tidak merasakan sakit dan gatal sama sekali. Ujian ini berat karena masih menggunakan kain ihram, kita dilarang untuk menutupkan kain tersebut ke kepala, misalnya untuk selimut agar tidak kedinginan atau digigit nyamuk.

Azan dzuhur dikumandangkan, kami pun shalat dzuhur dan asar jamak qasar. Dilanjutkan dengan khutbah wukuf yang materinya mengaduk-aduk perasaan. Air mata mulai tertumpah di kain ihram. Sampai dengan menjelang maghrib tiada henti kami berdzikir dan berdoa. Mata ini rasanya tidak sempat menghentikan air yang menetes dari sudut mata. Dosa semacam apapun yang pernah saya lakukan diputar ulang oleh ingatan otak saya, kemudian muncul hukuman yang akan diberikan oleh-Nya jika saya tidak bertobat kepada-Nya. Bibir hanya bisa mengucap istighfar berulang-ulang.

Azan maghrib dikumandangkan, kami pun melaksanakan shalat maghrib dan isya jamak qasar. Sekitar pukul 9 malam, saya berangkat ke Muzdalifah. Udara dingin tidak menyurutkan keinginan saya untuk mengumpulkan batu-batu untuk melempar jumrah esok hari.

Lewat tengah malam, bus-bus sudah mulai disiapkan untuk mengangkut kami menuju Mina. Menjelang subuh, kami tiba di Mina. Tenda lumayan representative cukup bersih dan dilengkapi dengan pendingin udara. Saya pun segera berangkat untuk melempar jumrah Aqabah. Tujuh butir batu saya lempar ke arahnya, kemudian setelah selesai saya bertahallul. Kembali ke Mina dengan badan yang cukup letih, sampai di tenda saya mandi dan sudah diperbolehkan menggunakan pakaian biasa.

Dua hari ke depan, berturut-turut saya melempar 3 jumrah Ula, Wustha dan Aqabah. Kemudian kami kembali ke Mekkah untuk melaksanakan tawaf ifadhah.

Maka selesailah rangkaian ibadah haji yang saya lakukan. Alhamdulillah.

Umroh… Umroh… dan Umroh

Meskipun maktab saya 6 km jaraknya dari Masjidil Haram, tapi akses ke sana relative mudah. Dan membuat saya bersyukur, letak maktab tidak jauh dari Masjid Tan’im/Masjid Aisyah, masjid untuk miqot jika jamaah ingin melakukan ibadah umroh.

Jika saya ingin umroh, dari maktab ke Masjid Tan’im saya jalan kaki, bahkan pernah dapat tebengan dari orang arab yang baik hati dan sampai di sana berganti pakaian ihram, kemudian naik angkot ke Masjidil Haram yang bertarif 2 riyal. Alhamdulillah, saya bisa melaksanakan umroh beberapa kali. Bayangkan saja, kalau melakukan umroh dari tanah air berapa puluh juta harus dibayarkan ke biro perjalanan kan ha..ha..ha..

Dari umroh ke umroh, saya berusaha memperbaiki cara tawaf dan sa’i yang saya lakukan sebelumnya, termasuk menambah doa-doa yang belum saya mohonkan kepada Gusti Allah kemarin. Setiap duduk bersimpuh di depan Ka’bah, saya buka catatan do’a titipan dari teman dan kerabat dari tanah air. Namanya juga amanah, saya berusaha untuk selalu memegangnya.

Suatu saat saya ditegur oleh teman satu rombongan, kalau kepala saya jadi pitak di sana-sini. Maklum saja, ketika saya bertahalul asal memotong rambut saya.. cres…cres…cres…

Ustadz Lokal Saja

Acara pamitan saya untuk pergi ke Tanah Haram saya lakukan dengan cara yang sederhana saja. Alasan pertama, tidak ada dasar hukum yang mengatur hal itu. Kedua, kepergian saya ke Tanah Haram dalam rangka ibadah, sehingga pelepasan kepergian saya harus bernilai ibadah juga. Ketiga, wong saya yang pulang mudik lebaran selama seminggu saja pamitan kepada para tetangga, masak pergi selama sebulan lebih tidak pamitan kepada mereka. Acara pamitan saya laksanakan 3 hari sebelum jadwal berangkat ke Tanah Haram.

Dari awal, sengaja saya tidak ingin “memakai” mubaligh atawa dai terkenal untuk acara pamitan saya. Di masjid perumahan saya, ada Ustadz Fahid (sebut saja begini) yang dedikasinya terhadap dakwah islam tidak perlu diragukan lagi. Selain aktif di beberapa majlis taklim, dia juga guru di sebuah madrasah, yang kebetulan anak kedua saya sekolah di sana. Ketika saya datang ke rumahnya untuk minta dia memberikan materi tausiyah dan memimpin doa di acara pamitan saya, dia sempat kaget, dia bilang begini: “nggak salah pak, saya kan belum haji?”

Saya tersenyum dan mengatakan, “kenapa memang kalau belum haji? Bukankah Gusti Allah menilai manusia bukan dari haji atawa belum haji, Ustadz. Saya hanya berharap mudah-mudahan ini sebagai salah satu jalan bagi Ustadz untuk segera ke Tanah Haram”. Dan Ustadz Fahid menyanggupinya sambil nyeletuk, “Iya..ya.. saya belum pernah ke surga saja, bisa ceramah soal surga ha..ha..!”

Ternyata, ketika saya mengundang tetangga untuk hadir dalam acara pamitan tersebut sebagian besar bertanya: mubalignya siapa? Bagi saya, pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan acara pamitan tersebut.

Hari H datang juga. Ustadz Fahid datang tepat pada waktunya, sehingga leher saya tidak seperti leher angsa. Tidak seperti kalau menunggu mubaligh terkenal, hati gelisah, leher jadi panjang karena sebentar-sebentar menengok ke arah jalan menanti kedatangan mubaligh, sementara tamu-tamu sudah pada datang.

Acara dimulai dipimpin oleh Ustadz Kas, teman sekantor saya. Dia ini aktivis dakwah juga. Ada satu teman saya lagi, yang membantu acara pamitan tersebut, Ustadz Has.

Isi ceramah Ustadz Fahid sungguh bernas, masih membekas di hati saya sampai dengan saat ini. Kalimat talbiyah yang dikumandangkan Ustadz Kas, saat saya mendatangi tamu-tamu saya untuk bersalaman, mohon doa, mohon maaf dan beberapa tetangga saya titipi anak dan rumah saya, membuat haru dan khusuk.

Makanya, ketika di Tanah Haram sana setiap saya berdoa di tempat-tempat di mana doa terkabulkan oleh-Nya, nama ketiga ustadz selalu saya sertakan dalam doa-doa saya.