Ngantuk berat

Saya sedang terserang batuk berat, dan sepertinya tenggorakan juga radang. Sehabis shalat isya, saya membeli obat di apotik yang tak jauh dari Makareem Hotel – tempat saya menginap. Entah saking cesplengnya, obat itu telah berhasil membikin saya ngantuk berat.

Pagi harinya, ketika rombongan menunggu bus yang akan membawa City Tour, saya ketiduran di lobi hotel. Sementara rombongan sudah masuk ke dalam bus dan pak sopir sepertinya langsung tancap gas. Saya tersadar ketika rombongan sudah tidak ada di lobi. Saya pun bergegas mencari taksi yang kebetulan banyak lewat atau berhenti di depan hotel. Tujuan saya menuju Jabal Rahmah – Arafah. Saya berkomunikasi dengan sopir taksi dengan campuran sedikit bahasa Inggris – Indonesia – Arab, lebih banyak bahasa Tarzan-nya.

Masya Allah – dua kata ini yang sering terucap dari mulutnya disertai dengan membuka tangan. Selain menjadi sopir, kali ini ia merangkap menjadi guide bagi saya. Ia berasal dari Yaman, sudah 13 tahun tinggal di Mekkah dan Jeddah.

Dari Hadramaut, tepatnya. Saya bilang di Indonesia para habaib juga dari Hadramaut. Kemudian ia menyebut nama-nama habaib terkenal di Indonesia. Masya Allah. Ketika saya tanya apakah pernah ke Indonesia, ia bilang belum pernah ke Indonesia. read more

Kucing teras

Sesekali Grey, Kitty dan Mike “keluar” rumah untuk bermain di sekitaran teras, garasi dan taman.  Mereka keluar saat pintu rumah terbuka, misalnya saat kami sedang kedatangan tamu. Mereka akan sedikit betah berada di luar, jika saat itu tidak ada kucing lain yang sedang bermain di rumah kami.

Arkian, kami mempunyai “kucing tamu” yang saban hari datang ke rumah dan berleha-leha di teras. Sebut saja Pak Coci, kucing berbulu coklat terang berhidung besar. Ia suka menyemprotkan air kencingnya ke suatu obyek untuk menandai wilayah kekuasaan. Ada juga Pak Abu, kucing gendut berwarna abu-abu yang suka tiduran di sudut teras. Kemudian ada bu Preti, yang galaknya minta ampun. read more

mBah Kakung

Semalam saya bermimpi ketemu mBah Kakung yang sudah marhum sekian puluh tahun lalu. Kalau sudah begitu, nanti ketika saya ke Karanganyar mesti nyekar ke kuburnya. Jangan-jangan mBah Kakung sedang kangen putu.

mBah Kakung yang saya maksud bapak dari ibu saya, yang biasa dipanggil oleh orang sekitarnya dengan mBah Reso atau mBah Dhuwur, karena tinggi badannya. Ia adalah pensiunan polisi (entah apa pangkat terakhirnya). Saya tak pernah menangi ia menggunakan seragam polisinya, sebab sependek ingatan saya, waktu saya ‘mengenal’ mBah Kakung ia sudah pensiun dari dinas kepolisian.

Waktu kecil dulu, rumah mBah Kakung dan rumah ibu saya beda kampung sehingga kalau saya ingin main ke rumahnya, mesti menyeberangi sungai Siwaluh – sebuah sungai yang membelah Kota Karanganyar – dalam arti menyeberang yang sebenarnya, karena jembatan Siwaluh cukup jauh dari rumah saya. read more