Kisah Bendera Pusaka (2)

Lagu Kebyar-Kebyar belum juga usai. Pikiran mBah Sastro Kiyer melayang ke sebuah bangunan yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur 56. Imajinasinya berdasarkan cerita teman seperjuangannya yang menyaksikan Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Bung Karno yang terbaring lemah karena sakit menunggu kedatangan Bung Hatta. Ia tak mau pembacaan proklamasi tanpa Hatta. Ia memerlukan Hatta karena Bung Karno orang Jawa dan Hatta orang Sumatera. Demi persatuan ia memerlukan seorang dari Sumatera. Hatta adalah jalan yang terbaik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.

Akhirnya, Hatta yang ditunggu-tunggu Bung Karno datang dan menemuinya di kamar. Bung Karno segera berpakaian. Serba putih. Tak ada sepatah kata di antaranya keduanya yang dapat dicatat oleh sejarah. Pun dari mereka tak ada semangat yang menyala-nyala. Keduanya nampak letih, dan mungkin sedikit takut. read more

Kisah Bendera Pusaka (1)

mBah Sastro Kiyer selalu menjadi rujukan cerita perjuangan kemerdekaan Indonesia di saat dilakukan tirakatan malam 17 Agustusan di DusunTentrem. Ia menjadi salah satu sedikit pejuang Angkatan ’45 yang masih sugeng, hidup. Nama aslinya Wahono, dengan tambahan nama tua Sastrowiyoto. Orang-orang suka menyebut dengan mBah Sastro Kiyer, hanya karena mata kiri mBah Sastro yang suka berkedip-kedip secara refleks. Konon, mata kirinya pernah terserempet martir pasukan Belanda.

Beliau selalu menggebu jika bercerita zaman clash II  dulu. Saat itu usianya masih belasan tahun, namun sudah ikut bergerilya dan berperang mengusir Belanda dari tanah air.

“mBah, kenapa bendera Indonesia berwarna merah-putih ya?” tanya seorang pemuda di malam tirakatan, tahun lalu.

Mata mBah Sastro Kiyer menerawang dan terlihat berkedip-kedip tak terkendali.

Ngene ngger. Bendera Indonesia adalah bendera pusaka warisan nenek moyang kita yang perkasa. Ia memiliki makna filosofis, yakni merah berarti berani, putih berarti suci. Kenapa mBah sebut sebagai warisan nenek moyang? Dulu, saat Kerajaan Majapahit berjaya di bumi khatulistiwa, umbul-umbulnya berwarna merah dan putih. Panji merah-putih selalu digunakan pada saat upacara kebesaran kenegaraan di bawah pemerintah Hayam Wuruk. Jauh di masa sebelumnya, Jayakatwang ketika melawan Kertanegara, juga menggunakan bendera merah-putih.”

“Kalau zaman Mataram pripun mBah?” tanya pemuda itu lagi.

“Tak hanya Sultan Agung raja Mataram yang menggunakan panji-panji warna merah, tetapi juga di Kerajaan Melayu Minangkabau di bawah Raja Adityawarman. Bahkan Raja Sisingamangaraja dari Batak pun berbendera merah-putih. Di Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan juga menggunakan bendera merah-putih. Lalu, ketika terjadi perang Aceh, para pejuang Aceh pun memakai bendera merah-putih. Opo ora hebat?” tukas mBah Sastro.

Semua orang dengan takzim mendengarkan sesorah mBah Sastro Kiyer. Kemudian, ia melanjutkan ujarnya. “Coba kalian tengok adat di Dusun Tentrem ini, juga dusun-dusun lain di tanah Jawa. Sejak dulu warna merah dan putih digunakan untuk upacara selamatan tingkeban bayi. Saat kandungan berusia empat bulan dibuatlah bubur yang diberi pewarna merah sebagian di tengahnya. Orang Jawa memercayai kalau kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba ibu. Nanti, dalam setiap peringatan malam weton si anak, orang tua akan membuatkan dua bubur, merah dan putih.”

Indonesia merah darahku, putih tulangku bersatu dalam semangatmu….

Sayup-sayup terdengar lagu Kebyar-Kebyar dari tep-rekorder yang distel oleh panitia tirakatan. mBah Satro berdiri. Tegak. Tangan kanannya disilangkan di dadanya. Ia meresapi lagu yang dilantunkan oleh Mas Gombloh itu. Serentak semua peserta tirakatan berdiri mengikuti mBah Sastro.

biarpun bumi bergoncang kau tetap Indonesiaku
andaikan matahari terbit dari barat kaupun tetap Indonesiaku
tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan daku darimu

Rahasia mi Gino

Menjelang pulang kantor perut saya berbunyi kriuk-kriuk tanda minta diisi. Maklum nggak sempat makan siang. Kalau sudah dalam keadaan lapar seperti itu, Gino yang jadi andalan saya. Apalagi kalau bukan urusan membuat indomi rebus. Semua orang kantor mengacungkan jempol kepada Gino untuk urusan per-indomi-an. Ada yang bilang nyoto-roso, ada juga yang bilang mantep-roso, ada juga yang cluluk indomi buatan Gino mak nyuss tenan.

Gino pun menyajikan indomi yang masih kebul-kebul di meja saya. Tak lupa menyertakan pula teh tawar panas agak kental.

Ntar dulu No, duduklah sebentar di sini!”

“Ada apa to Kyaine?”

Halah… tumben panggil saya dengan sebutan Kyaine!” read more