Jakarta untuk pertama

Pameo ibukota lebih kejam dari ibu tiri sudah saya kenal sejak sekolah dulu. Gambaran Jakarta dapat saya lihat dari film-film gratisan yang saya tonton di layar lebar yang digelar Lapangan Umum sebelah barat rumah saya. Ikon Jakarta yang ditampilkan – misalnya film Benyamin – adalah Tugu Pancoran, Monas atawa Tugu Selamat Datang.

Memang dalam gambaran film dan juga propaganda tentang urbanisasi hidup di Jakarta tidak mudah. Perantau yang berhasil menundukkan Jakarta akan menjadi orang sukses. Bahkan meskipun di Jakarta hidupnya empot-empotan ketika pulang kampung akan berpenampilan diri seolah-olah ia sudah menjadi orang yang mapan secara materi.

Saya hendak menceritakan perkenalan saya dengan Jakarta. Pada tahun 1989, saya menginjakkan kaki di Jakarta gara-gara menjadi peserta lomba karya ilmiah mahasiswa di mana lomba dilaksanakan di IKIP Jakarta Timur. read more

Dapur ibu

Mari menengok sejenak dapur ibu. Masihkah belum berubah, masih sama dengan keadaan puluhan tahun lalu? Apakah di sana masih tergantung panci atawa wajan penyok yang pantatnya berwarna hitam sebab saban waktu kena panas api berbahan bakar minyak tanah? Apakah bala pecah seperti piring, gelas, mug, atawa mangkuk yang masih itu-itu juga: kita memakainya bersama keluarga besar? Peralatan masaknya, awet sekali bukan?

Jejak jelaga di atas tungku menandakan kalau dapur ibu selalu ngebul.

Dapur ibuĀ ibarat rahim. Di tempat ini ibu kita melahirkan karya terbaiknya: masakan lezat! Dari makanan tersebut, ayah menjadi lelaki kuat. Tenaganya makin berlipat-lipat dalam menjemput rejeki yang tersebar di muka bumi, kemudianĀ  ia menghidupi dan melindungi keluarga. Dari makanan tersebut, anak-anak ibu tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. read more

Akhir petualangan si Moncik

Namanya Moncik. Entah di mana tempat persembunyiannya. Setelah bangun pagi kalau saya melewati meja makan melihat ada bekas jejak si Moncik: sepertinya semalaman ia (dan kawan-kawannya?) berpesta pora. Bukan daging atawa tulang yang ia kerat, sebab di rumah saya tidak ada persediaan daging yang tersaji di meja makan. Moncik (dan mungkin dengan kawan-kawannya itu) memakan buah mangga.

Heran juga saya, kenapa mangga yang jadi sasarannya. Tiga biji mangga terpaksa dibuang, sebab ketiganya terdapat bekas mulut si Moncik. Ia sih tak rakus-rakus amat – artinya, tak semua mangga ia habiskan – cuma melubangi daging mangga dengan moncongnya. Mungkin juga, saban malam ia berpetualangan dari lemari ke lemari atawa dari meja ke meja.

Pada suatu siang, Moncik beranjangsana dari kamar ke kamar, lalu bersembunyi di sekitar gudang. Keberadaan Moncik di siang hari itu sudah memberikan isyarat kalau ia benar-benar ada, bukan makhluk luar angkasa yang di waktu malam mencicipi buah mangga. read more