Udan Awu

“…memang bila kita kaji lebih jauh, dalam kekalutan masih banyak tangan yang coba berbuat nista…”
Untuk Kita Renungkan – Ebiet G. Ade

Sepasang kakek-nenek yang sudah sepuh itu tidur dalam gelisah. Mereka merasa ada sesuatu yang terjadi di luar sana. Sebelum azan subuh berkumandang, kakek sudah siap-siap berangkat ke masjid. Baru beberapa langkah keluar rumah, ia merasakan keanehan yang ditunjukkan semesta di pagi buta. Halaman rumah dan pohon-pohon berwarna putih. Ia menyentuh selembar daun. Udan awu, gumamnya. Gunung mana yang meletus?

Ia segera kabarkan kepada nenek yang sedang cethik geni di dapur. Selepas waktu subuhan, terdengar riuh-rendah dari tetangga yang mengabarkan kalau Gunung Kelud meletus. Kegelisahan dalam tidur semalam terjawab sudah. Salah satu anaknya mukim di kaki Gunung Kelud sana.

Nenek segera mengontak anaknya, tiada tersambung (belakangan diketahui oleh kabel telepon rumah rusak oleh hujan pasir Gunung Kelud) baru kemudian menghubungi via ponsel. Kabar yang didapat: saat itu rumah anaknya hanya ditinggali tiga cucu dan pembantunya, sementara orang tua mereka berada di luar kota sedang ada dinas kantor.

Pagi itu kakek dan nenek memutuskan pergi ke kaki Gunung Kelud. Mereka pergi ke pangkalan travel, tak ada armada yang berangkat ke sana, kuatir kondisi Gunung Kelud. Sebetulnya lebih nyaman naik mobil travel, perjalanan empat jam nggak perlu ganti-ganti kendaraan. Mereka akhirnya naik bus dengan konsekuensi sambung-menyambung alias perlu ganti kendaraan untuk jurusan tertentu.

Bus menerjang gelapnya hujan abu vulkanik. Singkat cerita, kedua orang sepuh itu turun dari bus dan ganti naik angkutan yang lebih kecil. Satu kendaraan yang mestinya hanya untuk lima belas orang, disesaki oleh dua puluh orang. Itu pun dengan berebut masuk. Rasanya, semua orang sedang membutuhkan angkutan untuk segera sampai di tujuan.

Turun dari kendaraan tersebut, nenek meraba tasnya yang terbuka. dompet nenek raib, dicopet orang. Kasihan betul nenek ini, tadi pagi ia menguras semua tabungannya yang ia taruh di kaleng Khong Guan bekas untuk sangu. Untung di saku celana kakek tersimpan uang recehan cukup untuk membayar becak.

Kesedihan mereka berdua sirna sudah ketika mendapati ketiga cucunya dalam keadaan baik-baik saja.

Drama dua babak: Romlah dan Romli

Babak 1:

Cinta itu harus memiliki. Prinsip ini yang benar-benar dipegang teguh oleh Romli dalam memperjuangkan cintanya. Ia begitu mencintai Romlah, gadis tetangga sebelah. Sudah sepuluh hari ini ia mencari Romlah. Kabar sudah ia kirimkan, namun hingga kini tiada satu pun jawaban datang kepadanya. Ia berharap Romlah menitipkan rindunya lewat hujan atawa angin yang saban malam setia menemani Romli menunggu kabar dari kekasih tambatan hatinya itu.

Romli tak ingin membunuh rindu meskipun selalu menyiksanya. Ia ingat betul ketika pertama kali ia menyatakan cintanya kepada Romlah. Ia memerlukan waktu hampir tujuh purnama, untuk meyakinkan diri kalau hati Romlah telah terbuka untuknya.

Pada suatu malam minggu ia niatkan hati berbicara kepada Romlah, dengan menyiapkan diri sebagai seorang ksatria yang akan melamar seorang puteri kerajaan. Romli menghunus pedang cinta, kemudian memekikkan asmara. Pedang cinta pun menghunjam ke jantung Romlah. read more

Piknik ke Pulau Tidung

Begitu mobil kami memasuki jalan tol dalam kota Jakarta, terjadi perdebatan seru. Lewat jalur mana untuk ke Pulau Tidung, sebuah pulau berpenghuni di gugusan Kepulauan Seribu? Wisata Bahari ini banyak dinikmati warga.

Ada yang usul lewat Muara Angke, di mana di sana terdapat kapal-kapal kayu bermotor berlantai dua yang siap menyeberangkan pengunjung ke Pulau Tidung. Tapi waktunya cukup nggak untuk menuju ke sana? Kalau nggak salah, kapal berangkat jam enam pagi. Akhirnya disepakati melalui Marina Ancol.

Sampai di Ancol, KM Kerapu sudah berangkat. Terpaksa menyewa speedboat, deh. Bisa dihitung berapa ongkos untuk 9 orang, bukan? Tapi demi menginjakkan kaki ke Pulau Tidung, masing-masing urunan lima ratus ribuan oke-oke saja. read more