Dinda Noerhajatie, poedjaan Kanda seorang.
Toedjoe poernama soedah Kanda tiada berkhabar, rasa rendjana
gelisahkan djiwa. Siang berganti malam, wadjah Dinda ada di
bajangan fikiran poenja Kanda.
Pakansi pekan depan, di Djoemat tiga belas Djoeni, Kanda akan datang
melamar ke orang toea Dinda.
Peloek seriboe tjioem oentoek Dinda Noerhajatiekoe.
Kanda jang mentjintaimoe dengan tjinta 1000 tjioem.
mBah Ti – demikian aku memanggilnya, mengulurkan secarik layang cinta yang ditulis sangat rapi. Aku membacanya agak terbata sebab ejaan yang digunakan adalah ejaan lama. Sederhana namun dalam maknanya.
“Itu surat yang ditulis oleh mBah Kung-mu, ketika kami masih pacaran dulu,” kata mBah Ti tersipu ketika mengucapkan kata pacaran.
Panggilan mBah Ti yang kumaksud di sini tepatnya mbah buyutku, nenek dari ibuku atau ibu dari nenekku. Meskipun sudah sepuh, ia masih punya daya ingat yang kuat terutama cerita percintaannya dengan mBah Kung yang sangat dikasihinya yang kini sudah marhum.
“Memang mBah Ti dulu pacarannya LDR ya?” tanyaku khas anak remaja masa kini.
“LDR itu apa, nDuk?” mBah Ti gantian bertanya. Aku menjelaskannya singkat.
***
mBah Kung buyutku bernama Sjamsoel Hadi. Di masa mudanya ia bekerja sebagai juru tulis di sebuah perkebunan teh milik Ndoro Donker di lereng Gunung Lawu bagian Barat Daya. mBah Ti sendiri anak perempuan satu-satunya seorang mantri guru yang tinggalnya di sebelah Timur Pabrik Gula Tasikmadu.
bersambung…