Setelah Subagio Sastrowardoyo dan Goenawan Mohamad, giliran Sapardi menyuguhkan kisah carangan Ramayana. Apa jadinya jika Sita ternyata anak Dasamuka?
Penyair Sapardi Djoko Damono, masih giat berkarya pada usia 72 tahu, menulis sekaligus dua buku puisi baru: Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita dan Namaku Sita. Tersusun seperti lazimnya kumpulan puisi biasa, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita menghimpun 41 puisi. Format berbeda ditampilkan Namaku Sita. Buku puisi ini hanya terdiri atas satu puisi panjang berjudul “Namaku Sita”.
Namaku Sita berpusat pada tokoh Sita dalam kisah Ramayana. Sapardi menulis ulang biografi Sita, pahlawati epos klasik mahakondang asal India. “Ketika menulis buku puisi ini, yang saya kerjakan sekitar setahun, dalam benak saya berkerumun – menggarisbawahi, menjegal, menambah, mengintervensi – begitu banyak hal yang pernah saya dengar dan baca tentang perempuan yang tampaknya… telah menerobos keluar dari sela-sela aksara dalam kitab dan menjadi sosok yang dibayangkan sebagai benar-benar (pernah) ada…,” tulisnya dalam “Lampiran”.
Laksana dalam wayang kulit yang kerap menyelewengkan pakem dan mementaskan kisah carangan atau “cabang” yang diciptakan oleh masyarakat luas atau Ki Dalang sendiri, Sapardi mengarang kisah carangan Ramayana yang berpokok pada riwayat Sita. Dalam versi Sapardi, Sita adalah anak Dasamuka dan Dewi Mandodadi. Juru ramal mengatakan bahwa kelak dasamuka akan jatuh cinta kepada Sita, putrinya sendiri. Demi menghindari ramalan aib tersebut, bagaikan Nabi Musa, Sita yang baru lahir langsung dibuang dengan cara dihanyutkan ke sungai. Bayi mungil ini terdampar di tanah sawah yang sedang dibajak, lalu ditemukan dan dipungut sebagai anak oleh Raja Janaka. read more