Hikayat Bawang Putih dan Bawang Merah

Pada zaman dulu kala, di sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi tinggal sebuah keluarga kecil yang hidupnya aman sentosa yang seolah sebagai gambaran nyata keadaan negeri tersebut. Kepala keluarga kecil itu dikenal dengan sebutan Ki Siswono. Ia seorang petani, beristri seorang perempuan cantik berwajah gunung. Mereka mempunyai sepasang anak perempuan – secantik ibunya, masing-masing diberi nama Bawang Putih dan Bawang Merah. Sesungguhnya, Bawang Putih hanyalah anak pungut, sedangkan Bawang Merah anak kandung mereka.

Dulu ketika istrinya mengandung Bawang Merah, Ki Siswono saban waktu menjadi suami siaga, karena kandungan istrinya dalam hitungan hari akan melahirkan jabang bayi. Kalau ia pergi ke sawah atawa kebunnya sekedar menengok saja, karena kuatir istrinya tiba-tiba ingin melahirkan sementara ia tak ada di dekatnya. read more

Hikayat sapi berjanggut

Tersebutlah sepasang suami istri yang bernama Ki Rono dan Nyi Rani, sedang glenikan di kamarnya. Hati Ki Rono gundah karena mendapat titah dari Baginda Raja untuk mencari sapi berjanggut yang harus dibawa ke istana. Kalau ia gagal mengemban tugas tersebut, kepalanya bakal dipenggal oleh algojo kerajaan.

Sebagai punggawa istana kelas bawah, tentu saja ia tak bisa menolak titah Baginda Raja, apalagi perintah itu dilakukan di hadapan para pembesar kerajaan. Segenap yang hadir sudah bisa menduga di balik titah yang mustahil itu yakni Baginda Raja ingin mempersunting Nyi Rani menjadi istrinya yang keempat.

Heladalah kojur tenan…! Kalau urusan syahwat yang bicara apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya. Nyi Rani – nama lengkapnya Maharani – memang cantiknya sundhul langit. Nggak pantas mendapatkan suami seperti Ki Rono yang berwajah lekaki kebanyakan dan nggak punya pangkat yang tinggi. Sesuai namanya, Maharani berarti maha ratu, ya cocoknya jadi istri Raja dan kalau perlu diangkat menjadi permaisuri utama, toh? read more

Sekartaji ketula-tula (3)

Melanjutkan penggalan dongeng sebelumnya.

Sia-sia saja mBok Rondo Dadapan menunggu kedatangan Panji Asmarabangun yang telah diangkat menjadi anak olehnya, padahal tiga hari sudah semenjak pamit padanya, tak ada kabar yang ia terima di mana keberadaan Panji. Maka, dengan semangat kasih sayang seorang ibu ia mencari Panji. Ia susuri sungai, siapa tahu tubuh Panji tersangkut pohon di pinggir sungai karena kintir aliran banjir.

Sayup-sayup telinga tuanya mendengar dendang nyanyian seorang gadis yang menarik hatinya. Tapi dari mana datangnya suara itu? Suara hantukah yang ia dengar?

Semakin mendekati arah suara, ia semakin bingung karena tak ada ujud manusia yang sedang bernyanyi. mBok Rondo Dadapan bimbang, hendak melangkahkan kaki menjauhi sumber suara.

“mBok, jangan pergi. Tolonglah aku!” read more