Bangau dan kura-kura

Musim kemarau baru berjalan tiga puluh lima hari, namun air di telaga di tengah savana itu cepat sekali surutnya. Di sanalah berbagai marga satwa saling bertemu, bercengkrama, bermain-main air bahkan tak jarang perkelahian terjadi disebabkan oleh ego masing-masing binatang. Apalagi di saat air telaga yang tinggal sedikit seperti sekarang ini, pertengkaran di antara mereka kian parah saja.

Ikan-ikan mulai diburu oleh predator, bahkan anak ikan yang masih kecil sekalipun menjadi santapan yang sedap. Tumbuhan hijau di sekitar telaga sudah meranggas, tinggal akar-akarnya saja. Hewan-hewan mulai saling memangsa.

Syahdan, keadaan yang demikian membuat gelisah seekor bangau dan kura-kura, dua sahabat yang demikian akrab. Mereka tahu kalau selama ini mereka menjadi incaran seekor musang yang jahat. Jika hari masih terang, mereka bisa berlindung di antara kawanan hewan besar yang bukan pemangsa mereka, tetapi jika malam tiba mereka mesti waspada. Mata musang yang berkilat sering membuat bulu kuduk berdiri. Malam yang seharusnya digunakan untuk tidur, mereka malah terjaga sepanjang malam.

Keadaan yang demikian membuat bangau memutar otak bagaimana menghindari bahaya. Ia pun pamit kepada sahabatnya, kalau ia ingin terbang jauh untuk mencari telaga lain yang mungkin masih banyak airnya. Dengan berat hati, kura-kura itu mengiyakan rencana bangau untuk sementara meninggalkannya. read more

Sutawijaya anaknya siapa?

Tubuh Sultan Hadiwijaya a.k.a Mas Karebet a.k.a Jaka Tingkir terguncang-guncang di atas punggung gajah yang menjadi tunggangannya. Dari Pajang ia nglurug ke Alas Mentaok, tempat Sutawijaya membangun perdikan yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kerajaan Mataram. Sutawijaya berani menantang Pajang, Mentaok melakukan disintegrasi terhadap kedaulatan Pajang.

“Anak tak tahu diuntung, sudah diberi tanah merdeka eh…malah mau mbrontak. Dasar anak Pemanahan keparat!” Hadiwijaya mengumpat sepanjang perjalanan. Prajurit yang mendengar umpatan rajanya itu bergidik, betul-betul merasakan kemarahan junjungan mereka. read more

Pak Mahadenamutta dan periuk pecah

Pada suatu hari, Pak Mahadenamutta berjalan-jalan keluar-masuk kampung. Tanpa disadari, ia masuk ke sebuah kampung yang masyarakatnya dungu semua. Pak Mahadenamutta menghentikan langkahnya ketika ia melihat seseorang sedang memotong dahan pohon.

Orang tersebut berada di atas pohon, duduk di dahan yang sedang ia potong dengan goloknya. Sementara itu, anak dan istrinya menunggu di bawah pohon.

“Kisanak, hentikan memotong dahan itu. Kamu nanti akan jatuh!” Pak Mahadenamutta mengingatkan orang yang sedang memotong dahan itu. read more