Konservasi Tanah dan Air dengan Metode Vegetatif

Bulan Januari silam, Presiden Soeharto mencanangkan tahun 1993 sebagai Tahun Lingkungan Hidup dan Gerakan Satu Juta Pohon. Ini merupakan gerakan untuk menanam minimal satu juta pohon di setiap propinsi.

Kegiatan tersebut sangat penting terutama dalam usaha konservasi tanah dan air. Sehingga musibah longsor lahan seperti terjadi di beberapa propinsi beberapa waktu lalu tidak akan terulang lagi untuk masa yang akan datang. Salah satu lahan yang perlu mendapat perhatian kita adalah tanah kritis, di mana tanah semacam ini hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama di daerah rural (pedesaan). read more

Pentas Teater: Penontonnya Sudah Terseleksi

Setelah lakon Sampek Engtay dibredel, kemudian diikuti pula secara berturut-turut dengan pelarangan pementasan Suksesi, pentas si Burung Merak, dan terakhir Opera Kecoa (TEMPO, 8 Desember 1990, Teater), alasan pelarangannya bermacam-macam, dari yang mengandung unsur SARA sampai dapat mengganggu stabilitas masyarakat.

Yang jelas, saya belum pernah mendengar ada pementasan teater yang menyebabkan penonton berbuat “brutal”. Hal itu justru terjadi pada pertandingan sepak bola atau pementasan rock, yang sering membuat penonton bertindak brutal sampai merusak stadion.

Saya kira penonton pentas seni – dalam hal ini pentas teater – sudah terseleksi. Hanya golongan tertentu yang menyenangi teater. Contohnya Teater Gandrik Yogyakarta. Setiap kali pentas, penontonnya membludak dan kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa. Sambil duduk lesehan mereka menonton lakon yang dipentaskan. Tertawa bila sang tokoh ndagel. Bertepuk tangan jika kritikan mengena sasaran. Setelah pertunjukan selesai, mereka tertib pulang ke rumah masing-masing.

Itu Teater Gandrik, yang harga karcisnya sesuai dengan kantung mahasiswa kos. Tentu lain dengan Teater Koma. Penonton Teater Koma adalah kalangan menengah ke atas. Mereka sudah tidak sempat lagi memikirkan lakon di pentas tadi. Betapa pun telanjangnya kritik dilontarkan, penonton kelas ini tak akan mudah “terbakar” (TEMPO, 20 Oktober 1990, Laporan Utama)

Untuk Bung Nano dan Bung Rendra, silakan Anda menangis sepuasnya, sebelum seorang penyair dilarang menangis.

Majalah TEMPO, 29 Desember 1990 dalam rubrik Surat

 

 

 

 

Renungan di Hari Ibu

Malin Kundang adalah contoh seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Rupanya di era komputer ini semakin banyak manusia yang mempunyai tabiat seperti Malin Kundang. Berita terakhir yang kita dengar, seorang anak dengan sadis memotong tubuh ibunya menjadi sebelas bagian. Masya Allah! Pada kesempatan ini, saya mengajak pembaca untuk merenungkan perjuangan ibu kita tercinta. 

Sembilan bulan ibunda mengandung kita. Ke mana saja kita dibawanya, tak kenal lelah. Segala cara ditempuh agar kandunganya sehat. Sampai-sampai ibunda takut bila tidur tengkurap. Saat melahirkan ibunda mempertaruhkan nyawa satu-satunya, sementara ayah gelisah menghabiskan rokok berbatang-batang.

Kita pun jadi orok. Dengan kasih sayang, ibunda mengasuh kita. Tengah malam kita menangis, ibunda terbangun mengganti popok kita. Waktu sarapan pagi, anaknya menangis karena buang air ibunda menghentikan makan paginya untuk menceboki anak kesayangannya. Sarapan pagi selesai ibunda membersihkan piring kotor. Kemudian mencuci pakaian, sementara ayahanda pergi ke kantor (mungkin) di jalan sambil cuci mata.

Ibunda tak bosan mengerjakan itu semua hingga kita menjadi manusia harapannya. Pantaskah kita durhaka kepada ibunda? Kenapa harus membentak ibunda, ketika beliau terlambat menyiapkan makan siang? Sungguh berat tanggung jawab seorang ibu. Kalau dia salah mengasuh anak, rusaklah masa depan si anak.

Tabloid Cempaka Minggu Ini, 12 Desember 1990 dalam rubrik Sambungrasa