Jika Bang Jack Jadi Presiden

Bursa Capres RI makin panas, setelah aktor kawakan Deddy Mizwar mendeklarasikan sebagai Capres RI lima tahun ke depan. Saya ingin mengajak Anda berandai-andai, jika Deddy Mizwar terpilih rakyat menjadi presiden kita. Dari sekian banyak peran yang pernah dilakonkan oleh Deddy Mizwar, kira-kira dapat menggambarkan bagaimana sepak terjang sang Presiden kita ini.

Dalam film Naga Bonar, diceritakan bahwa tokoh Naga Bonar adalah seorang pencopet yang mendapatkan kesempatan menyebut dirinya seorang Jenderal di pasukan kemerdekaan Indonesia pada saat pasukan pendudukan Jepang mundur pada tahun 1945 dan Belanda berusaha kembali menguasai daerah yang ditinggalkan tersebut. Pada awalnya Naga Bonar melakukan ini hanya sekedar untuk mendapatkan kemewahan hidup sebagai seorang Jenderal, akan tetapi pada akhirnya dia menjadi tentara yang sesungguhnya, dan memimpin kemenangan Indonesia dalam peperangan. Dalam film Naga Bonar Jadi 2 pada garis besarnya menceritakan kekeraskepalaan Naga Bonar untuk mempertahankan lahan perkebunan (di mana di sana juga terdapat makam istri, ibu dan temannya si Bujang) yang akan dijual Bonaga (anak Naga Bonar) kepada investor asing. Setelah tahu kalau investor asing itu perusahaan Jepang yang masih dianggapnya sebagai penjajah, Naga Bonar semakin berang saja dan mati-matian mempertahankan lahan perkebunannya. read more

Pentas Teater: Penontonnya Sudah Terseleksi

Setelah lakon Sampek Engtay dibredel, kemudian diikuti pula secara berturut-turut dengan pelarangan pementasan Suksesi, pentas si Burung Merak, dan terakhir Opera Kecoa (TEMPO, 8 Desember 1990, Teater), alasan pelarangannya bermacam-macam, dari yang mengandung unsur SARA sampai dapat mengganggu stabilitas masyarakat.

Yang jelas, saya belum pernah mendengar ada pementasan teater yang menyebabkan penonton berbuat “brutal”. Hal itu justru terjadi pada pertandingan sepak bola atau pementasan rock, yang sering membuat penonton bertindak brutal sampai merusak stadion.

Saya kira penonton pentas seni – dalam hal ini pentas teater – sudah terseleksi. Hanya golongan tertentu yang menyenangi teater. Contohnya Teater Gandrik Yogyakarta. Setiap kali pentas, penontonnya membludak dan kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa. Sambil duduk lesehan mereka menonton lakon yang dipentaskan. Tertawa bila sang tokoh ndagel. Bertepuk tangan jika kritikan mengena sasaran. Setelah pertunjukan selesai, mereka tertib pulang ke rumah masing-masing.

Itu Teater Gandrik, yang harga karcisnya sesuai dengan kantung mahasiswa kos. Tentu lain dengan Teater Koma. Penonton Teater Koma adalah kalangan menengah ke atas. Mereka sudah tidak sempat lagi memikirkan lakon di pentas tadi. Betapa pun telanjangnya kritik dilontarkan, penonton kelas ini tak akan mudah “terbakar” (TEMPO, 20 Oktober 1990, Laporan Utama)

Untuk Bung Nano dan Bung Rendra, silakan Anda menangis sepuasnya, sebelum seorang penyair dilarang menangis.

Majalah TEMPO, 29 Desember 1990 dalam rubrik Surat

 

 

 

 

Renungan di Hari Ibu

Malin Kundang adalah contoh seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Rupanya di era komputer ini semakin banyak manusia yang mempunyai tabiat seperti Malin Kundang. Berita terakhir yang kita dengar, seorang anak dengan sadis memotong tubuh ibunya menjadi sebelas bagian. Masya Allah! Pada kesempatan ini, saya mengajak pembaca untuk merenungkan perjuangan ibu kita tercinta. 

Sembilan bulan ibunda mengandung kita. Ke mana saja kita dibawanya, tak kenal lelah. Segala cara ditempuh agar kandunganya sehat. Sampai-sampai ibunda takut bila tidur tengkurap. Saat melahirkan ibunda mempertaruhkan nyawa satu-satunya, sementara ayah gelisah menghabiskan rokok berbatang-batang.

Kita pun jadi orok. Dengan kasih sayang, ibunda mengasuh kita. Tengah malam kita menangis, ibunda terbangun mengganti popok kita. Waktu sarapan pagi, anaknya menangis karena buang air ibunda menghentikan makan paginya untuk menceboki anak kesayangannya. Sarapan pagi selesai ibunda membersihkan piring kotor. Kemudian mencuci pakaian, sementara ayahanda pergi ke kantor (mungkin) di jalan sambil cuci mata.

Ibunda tak bosan mengerjakan itu semua hingga kita menjadi manusia harapannya. Pantaskah kita durhaka kepada ibunda? Kenapa harus membentak ibunda, ketika beliau terlambat menyiapkan makan siang? Sungguh berat tanggung jawab seorang ibu. Kalau dia salah mengasuh anak, rusaklah masa depan si anak.

Tabloid Cempaka Minggu Ini, 12 Desember 1990 dalam rubrik Sambungrasa