Candik Ala 1965

Tangkapan-tangkapan para perempuan itu berdesakan di suatu aula besar menunggu nasib. Di tengah suara langkah-langkah berat sepatu larsa, teriakan dan bentakan para tentara yang berjaga, dan menciutnya hati menunggu giliran diinterogasi, galau memikirkan keluarga yang ditinggalkan, apalah yang bisa mereka lakukan kecuali mencoba meremas perasaan sendiri untuk tidak begitu saja rebah pada tuduhan, hinaan dan ancaman. Pagi-pagi, siang-siang, malam-malam, adalah penantian yang senyap dan mencemaskan. Jaman sedang berbalik arusnya. Di luar, apa yang terjadi di luar sana? Langit yang memerah, dan pos-pos penjagaan yang ketat menjelang senja di kampung-kampung. Dan jam malam. Orang-orang terombang-ambing oleh kabar-kabar yang tak menentu. Mereka mengerubuti radio kala Kepala Negara menyiarkan pidatonya. Dan … siapa bisa sangka petaka itu rupaya datang sebagai reaksi kemarahan atas pidato kepala negara yang menurut kata orang adalah pidato pembelaan terhadap Gerwani. Sebagai akibatnya, siapa bisa sangka bahwa bu Arumlah bersama tiga perempuan lainnya yang mesti menebus kemurkaan para tentara itu. Siapa sangka!

Keempat wanita itu diambil lewat tengah malam. Dalam truk yang tertutup, derumnya menembusi senyap jam-malam menuju timur kota. Mungkin dalam kediamannya, ia bisa menghitung berapa belokan dan arah jalan naik-turun sampai jauh, melampaui tanjakan-tanjakan. (Apa yang dipikirkannya selama itu? Gemetarankah tubuhnya? Menggigilkan hatinya?)

Hampir dua jam perjalanan ketika akhirnya truk berhenti. Mereka diturunkan. Suara-suara malam malah membikin semuanya semakin membisu. Dan dalam sekapan mata yang terbalut dunia menjadi serba gelap. (Apa yang dipikirkannya selama itu? Gemetarankah tubuhnya? Menggigilkan hatinya?). Jalanan yang menanjak, langkah terseret-seret menapaki rontokan ranting dedaunan basah oleh embun malam, dingin tanah membasahi kaki-kaki mereka yang bersandal seadanya, siut gerak pepohonan, dan kepak sayap burung malam, gemeresak suara air terjun yang seakan cuma selangkah saja dari jarak pendengaran. Kalau saja ada yang bisa dipertanyakan, tempat macam apakah ini? Kalau saja ada yang sempat bertanya…

Tak ada yang sempat bertanya. Mereka dijajar di mulut jurang. Gemeresak air terjun itu dekat benar kedengaran di bawah kaki. Beku gulita malam, teriakan yang tak terpahamkan, dan: dor! dor! dor!

Gelap hutan tiba-tiba gemetaran! Empat tubuh terjungkal terlempar melayang jatuh, lenyap ditelan gemuruh air terjun.

Lalu senyap!

Remang pagi dini hari. Hanya njekut dingin pegunungan. Kokok ayam ketiga dari desa-desa yang jauh. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, tentara-tentara itu telah kembali ke truknya. Mereka bergerak menyusuri jalanan berliku menurun kembali menuju kota.

Para tahanan perempuan sedang memulai kegiatan pagi ketika tentara-tentara itu tiba kembali di tempat, melompat keluar bak truk, berhamburan mendekati mereka, sambil berteriak-teriak: kalian tahu apa yang terjadi atas nasib empat teman kalian! Ingin tahukah kalian! Dengarkan ini!

Maka berulanglah cerita tentang ‘nasib keempat wanita yang dibawa ke pegunungan di timur kota’ itu di hadapan mereka. Dan disimpannya ‘dongengan’ ini dalam kebungkaman sejarah yang mengerikan. Hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun lamanya.

~oOo~

Dikutip dari bagian akhir novel Candik Ala 1965 karya Tinuk R. Yampolsky yang diterbitkan oleh KataKita (Juni 2011) setebal 223 halaman.