Bujang menerima tantangan kawin

Namanya Bujang. Penampilannya selalu rapi jali. Jika tidak sedang berbatik, baju yang dikenakan selalu dimasukkan ke dalam celana. Ia juga anti celana jins. Sepatunya selalu kinclong yang ujungnya bermodel mirip sepatu Aladin, melengkung ke atas.

Parasnya imut dan cakep. Putih bersih. Jangan ditanya perkara beribadah. Ia rajin shalat (wajib dan sunnah) begitu pun untuk urusan puasa: Senin-Kamis jarang ditinggalkan. Lempeng betul jalan hidupnya. Seolah berprinsip kalau arah hidup itu ya ke surga belaka!

Karena di tempatnya bekerja terdiri dari banyak karakter manusia, tak selamanya Bujang dapat mempertahankan prinsip yang ia pegang erat-erat dari kampungnya dulu. Arkian setelah bekerja 3 tahun, ia mulai terpengaruh oleh tingkah-laku teman sejawatnya yang berpendapat kalau ada cabang surga di dunia ini.

Bujang mulai menikmati indahnya surga cabang dunia: ia mulai menyadari bahwa Raisa itu makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna dan seandainya ia punya pacar sebening Raisa betapa bahagia hatinya. Surga dunia yang lain mulai ia nikmati: menjelajahi negeri yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan, kini ia jelajahi dengan naik kapal terbang. Perkara ibadah, tak seketat dulu ia tegakkan. Anak muda banyak godaannya!

Syahdan, Bujang pengin kawin! Ia ingin menanggalkan status jomblonya. Apakah sudah ada gadis yang sudi dipinangnya? Secantik Raisa atau setidaknya mirip-mirip salah satu Member JKT48? Mumpung masih ada kesempatan ia memilih dan memilah calon istrinya. Tapi, beranikah ia kawin sementara gaji sebulannya selalu habis tersedot untuk kreditan motor dan bayar kos saban bulannya?

***

Suatu ketika, Mas Suryat menggoda Bujang dengan selorohnya yang serius, “Kalau dalam tiga bulan ini kamu berani kawin, aku yang tanggung biaya cetak undangan!”

Bujang menjawab sambil tertawa: belum berani dan lagian belum yakin apakah cewek yang sedang didekatinya itu akan mantap menjadi istrinya.

Hati Mas Suryat senang betul telah berhasil menjahili Bujang. Pada kesempatan yang lain, Mas Suryat kembali jahil dengan pancingan lebih serius, “Kalau sampai bulan depan ini kamu berani kawin, uba-rampe pernikahanmu aku yang biayain!

Lagi-lagi ia menjawab dengan meringis kalau belum siap kawin.

Rupanya Bujang gelisah dengan seloroh Mas Suryat. Ia bertanya ke teman-temannya apakah yang dikatakan oleh Mas Suryat itu serius atau sekedar bercanda. Sebagian teman-temannya menganggap, kalau ucapan Mas Suryat serius.

Kemarin sore Bujang datang ke meja Mas Suryat. Dengan wajah cengar-cengir ia bertanya kepada Mas Suryat, “Tawaran Pak Suryat masih berlaku nggak?

“Tawaran yang mana?”

“Itu… yang mau mbantu ongkos pernikahan saya.”

“Ya masih. Memang kamu sudah berani?”

“Rencananya minggu depan, Pak!”

Jeda beberapa detik.

“Mana nomor rekeningmu, tak transfer sekarang. Bener nih sudah siap?”

“Mulai besok saya sudah urus surat-suratnya. Sebelum puasa sudah resmi jadi suami-istri. Nanti waktu libur lebaran mau saya ajak pulang kampung.”

Lima menit kemudian Mas Suryat garuk-garuk kepala. Isi celengan ayamnya tinggal beberapa koin saja.

Tetapi ia sangat bahagia ketika dilihatnya Bujang langsung menelpon calon bininya mengabarkan kalau minggu depan mereka jadi menikah.