Blog-Award, apakah masih ada?

Saban hari, ribuan blog lahir dan yang mati pun tak kalah banyak. Berdasarkan pengamatan saya, di awal-awal ngeblog (biasanya) mengalami prosesi kirim-mengirim award antar narablog. Kemudian ada juga saling memberikan PR untuk dikerjakan, di mana PR tersebut akan diwariskan ke narablog lain. Award sendiri berbagai macam bentuk dan modelnya. Beberapa narablog (senior) bahkan menyimpan award tersebut di tempat khusus.

Apakah saya pernah mendapatkan award? Pernah beberapa kali, namun saya tak menyimpannya di tempat khusus seperti lemari award, tapi untuk mengapreasiasi narablog yang memberikan award kepada saya, akan saya buat sebuah artikel, salah satunya “Ketika wawancara kerja”. Ini postingan nostalgia yang pernah terbit di tanggal 11 Agustus 2009 (waktu itu saya belum genap setahun ngeblog), dengan sedikit modifikasi.

~oOo~

Mestinya orang seumur saya tidak pantas lagi menenteng map lusuh yang di dalamnya berisi berkas lamaran kerja, masuk satu kantor ke kantor lainnya. Baru sampai pintu gerbang, sudah ditolak oleh satpam dibilang tidak ada lowongan kerja. Sebenarnya saya bisa saja minta surat sakti dari SBY, wong nyatanya dua kali saya pernah bertemu dengannya di Istana Negara. Lalu, saya membayangkan wawancara kerja dilakukan di lobby hotel berbintang sambil minum kopi yang harga segelasnya lima puluh ribu itu.

Hari ini, mungkin nasib baik baru menghampiri, saya dipanggil untuk sebuah wawancara. Sejak semalam, berkas-berkas lamaran sudah saya siapkan, sesuai dengan tips yang pernah saya baca di artikel Seleksi Delenger1. Saya menggunakan pakaian terbaik yang saya punya.

Di ruang tunggu sebuah kantor, duduk berjejer para kandidat pelamar kerja – yang pasti mereka ini kompetitor saya. Map makin kucel saja, teremas oleh tangan saya yang berkeringat. Saya berdoa dalam hati, berharap manager yang mewawancarai saya bukan manager galak.

Nama saya dipanggil, saya berjalan sesopan mungkin. Pintu saya ketuk, dan saya dipersilakan duduk. Saya kaget membaca name-tag di meja pewawancara saya: Sri Sumarah. Sebuah nama yang sangat saya kenal, kenapa jadi manager personalia? Bukankah seharusnya ia berada di cerpennya Pak Umar Kayam?

“Tunjukkan  berkas lamaran Saudara secara lengkap!” katanya ketus, membuat saya kaget setengah mati dan semakin grogi saja. Hmm, kok karakternya beda dengan Sri Sumarah-nya Pak Kayam.  Tokoh Sri Sumarah dalam cerpen digambarkan sebagai sosok yang apa adanya, tabah, tegar, dan sabar dalam menjalani hidupnya.

Satu-satu saya keluarkan berkas: CV, SKKB dari Polri kalau saya bukan teroris, Surat Keterangan Sehat, Kartu Kuning dari Depnaker, foto kopi KTP, pas photo berwarna 2 biji, semua saya serahkan kepada ibu manager.

“Mana dokumen yang lain?” suaranya terdengar semakin ketus di telinga saya, “misalnya sertifikat ato piagam!”

Tangan saya gemetar memilah-milah dokumen, dan saya sodorkan kepadanya sambil berkata, “ini sertifikat TOEFL, ini sertifikat ikut pelatihan the seven tools, customer handling complaints dan TQC. Ini juga ada piagam juara main catur tingkat RW…”

“Lainnya..?” dia berkata tanpa memandang ke arah saya, ia sibuk dengan kuku di jemarinya.

“Ini, ada beberapa lagi… “, suara saya tercekat di tenggorokan.

“Apa ini?” ia alihkan pandangan ke berkas yang saya pegang. Gila, pandangan matanya tajam menghunjam ke jantung saya.

Saya menjawab, “Ini award dari Pakdhe Cholik:

terus yang ini dari BundaJanganKuatir!”

“Siapa itu Pakde Cholik dan BundaJanganKuatir?” tanyanya masih bernada cuek.

Saya pun menjelaskan panjang-lebar siapa beliau berdua.

“Okelah kalau begitu. Selamat Saudara diterima kerja di sini,” ibu manager menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan. Tapi saya masih ragu menerima ucapan selamatnya, “Tapi… saya diterima sebagai apa?”

Ngajari anak-anak saya untuk ngeblog!” kata ibu Sri Sumarah agak meninggi.

“Ibu sendiri tidak ingin ngeblog?” tanya saya memberanikan diri.

Perempuan di depan saya sepertinya melakukan eka-wicara:

“Bukannya kebetulan nDuk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu, kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak berarti lantas kau diaaaam saja, nDuk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti, nDuk?”2

“Maaf loh Nak. Apa sampeyan juga seorang narablog, seperti Pakde Cholik dan BundaJanganKuatir yang sampeyan paparkan tadi?” ibu sepuh setengah baya itu mulai ramah, tak bernada marah lagi.

Inggih bu, pangestunipun. Nyuwun sewu loh, apa ibu nggak mengenal saya sebagai narablog?” saya merendahkan suara.

Entah datang dari mana, mbak Bawuk (tokoh di cerpennya Pak Kayam) sudah berdiri di samping ibu Sri Sumarah.

“Bu, beliau ini kan Kyaine Padeblogan. Panjenengan bisa nyantri-ngeblog kepada beliau ini. Pripun?” tutur mBak Bawuk.

“Baiklah, saya akan menjadi santri di Padeblogan,” kata ibu manajer personalia itu, kalem.

~0Oo~

Sekarang ini, Blog-Award antar narablog apakah masih ada?

Note:
1Dulu saya cukup akrab dengan pemilik blog ini, kini kehilangan kontak
2Dikutip dari kumpulan cerpen Umar Kayam Seribu Kunang- kunang di Manhattan, 2009 : 187