Bima Bungkus: Kisah lahirnya Bima

Pagi yang sangat cerah di hari sabtu, di sebuah teras rumah nan asri penuh dengan tanaman hijau dan bunga warna-warni, sepasang anak-ayah sedang bercengkerama, sesekali mereka bercanda. Anak tampan berusia sekitar sepuluh tahun itu bernama Gatotkaca, sedangkan si ayah yang berperawakan tinggi besar, tubuh gagah  dengan suara menggelegar adalah Bima alias Werkudara alias Bratasena.

“Papi, tolong ceritakan kisah kelahiran yang konon selama bertahun-tahun tubuh papi terbungkus tembuni.”

“Benar sekali, ngger. Ceritanya begini. Nenekmu Kunti bersama kakekmu Pandu sedih sekali melihat proses kelahiranku yang sangat aneh. Seharusnya tembuni itu berada di luar tubuhku, tapi ini malah membungkus tubuhku. Dan menutup sangat rapat, sehingga tak ada celah untuk membukanya. Pandu merasa mendapatkan satu kutukan dari dewata dengan keadaan anaknya.”

Gatotkaca takjub dengan kisah awal kelahiran ayahnya itu.

“Tembuni atawa plasenta itu berperan sebagai penangkal dari semua zat-zat di luar tubuh yang membahayakan si bayi. Tembuni juga sangat penting artinya bagi kehamilan dan tetap akan penting sampai kelahiran si bayi. Pada waktunya nanti, ketika rahim mengecil setelah bayi lahir, tembuni akan terlepas dari rahim dan lahir dengan sendirinya. Dan itu tidak terjadi padaku.”

“Lalu, apa yang dilakukan kakek dan nenek, pi?”

“Kakekmu bersemedi dan berkomunikasi dengan dewata, kemudian mendapatkan wangsit untuk mengasingkan bungkusan tembuni itu ke dalam hutan. Kakekmu mengikuti perintah dewata, karena ia merasa bahwa itu jalan terbaik yang harus ditempuh untuk menyelamatkan bayinya. Dengan dikawal oleh anak-anak Destarastra – Raja Hastina, bayi terbungkus tembuni itu dibawa ke tengah hutan Minangsraya.”

Bima menyeruput kopi ginseng buatan Arimbi istrinya,  dan mengambil pisang goreng Kalimantan, diemplok sekali telan.

“Berhari-hari anak-anak Destarastra menunggui bungkusan tembuni itu. Mereka sangat heran dengan perkembangannya. Bungkusan itu semakin hari semakin besar wujudnya. Di antara anak-anak Destarastra terdapat Duryodana, Harya Suman, Dursasana, Durmagati dan si kembar Citraksa-Citraksi. Harya Suman menghasut Duryodana untuk menghancurkan bungkusan tembuni. Dalam perkiraannya, di dalam bungkusan tembuni terdapat seorang anak manusia yang berpotensi merebut tahta Hastina dari Destarastra, padahal Duryodana sebagai putra mahkotanya. Duryodana terhasut oleh siasat licik Harya Suman. Lalu, anak-anak Kurawa menghunus senjatanya masing-masing dan menusukkan ke bungkusan tembuni.”

“Apakah tembuni itu hancur, pi?”

“Tidak, ngger. Mereka penasaran karena berbagai senjata mereka rusak dan patah. Mereka mencoba menumbangkan pohon besar ke arah bungkusan tembuni, tetapi malah pohon itu yang hancur berkeping-keping. Mereka pun meninggalkan bungkusan itu di tengah hutan, sementara mereka kembali ke istana dan melaporkan bahwa bungkusan tembuni telah dimakan harimau.”

“Papi inggat nggak apa yang sebenarnya terjadi di dalam tembuni?”

“Tentu saja aku ingat. Wong aku berada di tembuni bertahun-tahun. Di dalam tembuni aku didatangi Batara Bayu yang menempaku menjadi manusia yang kuat. Setelah aku lulus dari gemblengan, Batara Bayu memberiku beberapa anugerah. Kamu mau tahu?”

“Iya dong, pi!”

Gelang Minangkara Cinandi Rengga Endhek Ngarep Dhuwur Mburi, selalu waspada terhadap diri pribadi sebagai hamba yang harus pasrah dan berbakti kepada Yang Maha Kuasa. Pupuk Mas Rineka Jarot Asem, mempunyai watak dan budi pekerti luhur dengan selalu mengasah kebenaran dan pengetahuanku, karena aku sudah diambil putra oleh Batara Bayu. Sumping Pundhak Sinumpet, aku selalu menguasai ilmu kesempurnaan hidup, hakikat dan makrifat, tetapi tidak menyombongkan diri. Anting-anting Panunggal Sotya Manik Banyu, berarti sudah waskita, sudah paham sebelum diajari dan tidak pernah kuatir terhadap segala apa yang akan terjadi. Kalung Nagabanda, bermakna satria gagah perkasa dan prajurit sejati, lebih baik mati daripada berkhianat.”

“Wah… banyak sekali, pi.”

“Masih ada kok. Kelat Bahu Blebar Manggis kang Binelah, bermakna berhati emas, suci lahir batin. Aku tidak mau berjanji kalau tidak ada buktinya. Gelang Candra Kirana, selalu mengarahkan agar ilmu pengetahuanku terang benderang seperti bulan purnama bercahaya sempurna. Kampuh Pancawarna Poleng bang Bintulu Abang Ireng Kuning Putih miwah Wilis, bermakna dalam hidupku mampu mengendalikan panca indera terhadap godaan nafsu dan menjaga keharmonisan alam. Sabuk Cindhe Wilis Kembar Beranipun kang Binelah Numpang Wentis Kanan Kering, berarti bisa konsentrasi dalam bermeditasi. Bahasa gampangnya khusyu’, hati dan pikiran menyatu. Terakhir, Porong Nagaraja Mungwing Dhengkul, bermakna memegang kebenaran dan memantapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan tetap membuka diri dari kritik dan pendapat orang lain. Bagaimana, ngger?”

“Papi memang top-markotop deh! Oh iya, lalu siapa yang  membuka bungkusan tembuni itu, pi? Apakah Batara Bayu?”

“Wow… sudah jam sepuluh nih. Bukannya sekarang papi harus mengambil rapor kenaikan kelas di sekolahmu?”